Artikel

“Delapan Cara Pandang Kita Terhadap Palestina (1 dari 8)”

BismilLah.

Inilah “Surat Dari Teman Jauh”, yang bercerita tentang bagaimana semestinya kita memandang negeri Palestina apa adanya. Sebenarnya ia hanya kumpulan tulisan, yang membentuk bingkai pemikiran kritis, bukan pragmatis. Yuk kita ikuti bagian demi bagiannya, semoga mencairkan kebekuan cara pandang kita selama ini.

Pertama : Palestina adalah satu-satunya tempat di dunia kontemporer yang masih terjadi kolonialisasi model kuno. Ia merupakan pusat dunia, strategis baik secara potensi sumber daya alam, ekonomi, politik, maupun militer.

 

KOLONISASI PALESTINA MEMUSTAHILKAN PERDAMAIAN

KORAN TEMPO WAP,
Rubrik Opini, Edisi 2006-03-18

Jimmy Carter (Bekas Presiden Amerika Serikat, Pemimpin The Carter Center/National Democratic Institute, yang memantau pemilihan umum di Palestina, Januari lalu).

Selama lebih dari seperempat abad, kebijakan Israel selalu berbenturan dengan kebijakan Amerika Serikat dan masyarakat internasional. Pendudukan wilayah Palestina oleh Israel telah menghambat tercapainya perdamaian yang menyeluruh di Tanah Suci. Ini terjadi tanpa melihat apakah rakyat Palestina punya pemerintah formal atau tidak. Begitu juga apakah pemerintah itu dipimpin Yasser Arafat atau Mahmud Abbas, atau oleh Abbas yang menjabat sebagai presiden dan Hamas yang menguasai parlemen dan kabinet.

Sejak masa pemerintahan Dwight Eisenhower, Amerika telah mengambil posisi yang tegas bahwa batas Negara Israel adalah batas yang ditetapkan pada 1949. Setelah itu, sejak 1967, Resolusi PBB Nomor 242 yang diterima secara universal sudah memerintahkan penarikan mundur Israel dari wilayah-wilayah yang didudukinya.

Kebijakan ini bahkan ditegaskan kembali oleh Israel sendiri pada 1978 dan 1993, dan ditekankan oleh semua Presiden Amerika Serikat, termasuk George W. Bush. Sebagai bagian dari Kuartet, termasuk Rusia, PBB, dan Uni Eropa, Bush telah menyetujui diajukannya suatu Peta Perdamaian. Namun, Israel secara resmi sudah menolak premis dasar Peta Perdamaian ini dengan kualifikasi dan prasyarat yang nyata-nyata tidak dapat diterima.

Dengan persetujuan Israel, The Carter Center telah memantau ketiga pemilihan umum yang berlangsung di Palestina. Ketiga pemilihan umum yang diawasi suatu komisi beranggotakan rektor-rektor universitas dan para ahli hukum terkemuka ini telah berlangsung jujur, adil, dan damai. Hasil pemilihan itu pun telah diterima dengan baik oleh pihak yang menang dan yang kalah.

Hamas akan menguasai kabinet dan kantor perdana menteri, tapi Mahmud Abbas tetap memegang wewenang dan kekuasaan yang pernah dipegang Yasser Arafat. Abbas tetap sebagai pemimpin PLO, satu-satunya entitas Palestina yang diakui Israel, dan dapat berunding dengan para pemimpin Israel di bawah payung ini, lepas dari kendali Hamas.

Abbas dengan tegas menerima Peta Perdamaian yang diajukan Kuartet. Jajak pendapat yang dilakukan setelah berlangsungnya pemilihan umum baru-baru ini menunjukkan bahwa 80 persen rakyat Palestina masih menginginkan perjanjian damai dengan Israel dan hampir 70 persen mendukung Abbas sebagai presiden.

Israel telah mengumumkan kebijakan mengucilkan dan menggoyahkan pemerintah yang baru di Palestina, sebuah langkah yang mungkin diikuti Amerika Serikat. Para pejabat Palestina yang terpilih tidak akan diberi izin bepergian, para pekerja dari Gaza yang sudah terpencilkan itu dilarang masuk Israel, dan segala upaya dilakukan untuk menghambat dana mengalir ke Palestina. Utusan khusus Kuartet, James Wolfensohn, telah mengusulkan agar negara-negara donor membantu rakyat Palestina tanpa melanggar undang-udang antiteror yang melarang dikirimnya dana secara langsung kepada Hamas.

Dalam jangka pendek, pendekatan paling baik adalah mengikuti nasihat Wolfensohn, membiarkan keadaan reda dulu di Palestina, dan menunggu hasil pemilihan umum di Israel akhir bulan ini. Saat ini, Hamas ingin mengkonsolidasi hasil-hasil politik yang telah diperolehnya, menjaga ketertiban dan stabilitas di dalam negeri, serta menghindarkan diri dari kontak apa pun dengan Israel. Akan merupakan tragedi –terutama bagi rakyat Palestina– jika mereka mengobarkan atau mem-biarkan terus berlangsungnya terorisme.

Hambatan yang paling utama menuju perdamaian adalah kolonisasi wilayah Palestina oleh Israel. Hanya ada beberapa ratus orang pemukim Israel di Tepi Barat dan Gaza ketika saya menjadi presiden, tapi pemerintah Likud memperluas permukiman itu setelah saya tidak lagi menjadi presiden.

Presiden Ronald Reagan mengutuk kebijakan ini dan menegaskan kembali bahwa Resolusi Nomor 242 tetap menjadi “batu dasar upaya perdamaian yang dilakukan Amerika Serikat di Timur Tengah”. Presiden George HW Bush bahkan mengancam akan mengurangi bantuan Amerika kepada Israel.

Walaupun Presiden Bill Clinton berupaya keras memajukan perdamaian, justru terjadi kenaikan jumlah pemukim yang luar biasa di masa pemerintahannya, hingga mencapai 225 ribu. Sebagian besar terjadi saat Ehud Barak menjadi perdana menteri. Apa yang secara resmi ditawarkan oleh Israel kepada rakyat Palestina tidak lebih dari sekadar menarik 20 persen dari jumlah tersebut. Sisanya sebanyak 180 ribu tetap berada di 209 permukiman yang mencakup sekitar 5 persen wilayah Palestina yang mereka duduki.

Angka 5 persen itu sangat menyesatkan karena daerah-daerah lain di sekitarnya telah diambil atau disisihkan untuk perluasan, untuk jalan-jalan yang menghubungkan permukiman satu sama lain dengan Yerusalem, serta untuk jalur-jalur arteri yang lebar yang akan digunakan untuk saluran air, limbah, listrik, dan komunikasi. Jaringan-jaringan bagaikan sarang lebah ini memecah belah seluruh Tepi Barat menjadi fragmen-fragmen kecil yang banyak di antaranya tidak layak dihuni manusia atau bahkan tidak dapat dicapai.

Baru-baru ini para pemimpin Israel telah mengambil tindakan sepihak tanpa melibatkan baik Amerika Serikat maupun Palestina dengan menarik mundur tentaranya dari Gaza sebagai langkah pertama. Gaza seperti saat ini yang dibatasi dan terpencil, tanpa akses ke udara, laut, atau Tepi Barat, menjadi entitas ekonomi dan politik yang tidak mungkin bisa berkembang dan tetap hidup tanpa bantuan dari luar.

Masa depan Tepi Barat sama suramnya. Terutama yang merisaukan adalah dibangunnya oleh Israel dinding-dinding pemisah yang masif di daerah-daerah yang padat penduduknya dan pagar-pagar yang tinggi di daerah-daerah pedesaan. Dinding-dinding itu terletak seluruhnya di dalam wilayah Palestina dan sering masuk jauh ke dalam untuk mencakup lebih banyak lagi tanah dan permukiman.

Dinding-dinding itu memang dirancang untuk sepenuhnya mengelilingi sebuah Palestina dengan bagian kepala sudah terpangkas. Sedangkan suatu jaringan jalan raya yang eksklusif akan melintasi apa yang tersisa dari Palestina guna menghubungkan Israel dengan lembah Sungai Jordan.

Semua ini tidak pernah dapat diterima baik oleh rakyat Palestina maupun masyarakat internasional. Bisa dipastikan hal ini akan tambah meningkatkan ketegangan dan kekerasan di dalam wilayah Palestina serta kemarahan dan dendam dunia Arab terhadap Amerika, yang mereka anggap bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Palestina.

Penjabat Perdana Menteri Ehud Olmert dan pemimpin Israel lainnya beberapa tahun lalu pernah mengemukakan bahwa dipertahankannya pendudukan wilayah-wilayah Palestina oleh Israel akan semakin sulit. Soalnya, secara demografis, jumlah relatif warga Israel menurun, baik di dalam Israel maupun di wilayah-wilayah yang didudukinya di Palestina. Sebagian besar rakyat Israel sadar akan hal ini.

Mereka juga memandang peran dominan Israel ini sebagai distorsi dari nilai-nilai lama moral dan religius. Selama bertahun-tahun jajak pendapat dengan konsisten menunjukkan bahwa sekitar 60 persen rakyat Israel mendukung penarikan mundur dari Tepi Barat sebagai imbalan perdamaian yang langgeng. Begitu pula sebagian besar rakyat Israel dan Palestina menginginkan solusi adanya dua negara yang hidup berdampingan secara damai.

Korban terus meningkat selama beberapa tahun terakhir ini, sementara tentara Israel memperketat kontrol atas wilayah-wilayah yang didudukinya. Dari September 2000 sampai Maret 2006, sebanyak 3.982 orang Palestina dan 1.084 orang Israel telah terbunuh dalam konflik, termasuk banyak anak-anak: 708 anak Palestina dan 123 anak Israel.

Sumber : http://wap.korantempo.com/view_details.php?idedisi=2097&idcategory=14&idkoran=66532&y=2006&m=03&d=18

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *