Berita

Tangis anti-Semitisme : Konferensi di Israel Targetkan BDS

BismilLah.
Sebuah berita yang mengungkap bagaimana gerakan BDS berhasil membuat Zionis Israel kalang-kabut. Tulisan ini merupakan terjemah bebas dari artikel sumber Sameh Habeeb, pada Kamis 31 Maret 2016.
Israel tampaknya beralih cara dengan menggunakan ejekan ‘anti-Semitisme’ untuk menghambat tumbuhnya gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi

Pada tanggal 28 Maret lalu, koran utama Israel Yedioth Ahronoth mengadakan konferensi pertama, yang menargetkan gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS), yang memboyong para ahli Israel dan Amerika untuk merakit strategi guna melawan gerakan boikot di seluruh dunia, yang saat ini berkembang pesat.

Konferensi yang diadakan di Jerusalem jajahan, dihadiri oleh presiden Israel dan para menteri senior pemerintahan sayap kanan, serta anggota radikal Knesset, atau parlemen Israel.

Beberapa rekomendasi yang diberikan oleh pembicara menunjukkan bagaimana Israel tidak mampu menghentikan kereta BDS. Yisrael Katz, menteri intelijen dan transportasi, disarankan membidik kepemimpinan BDS menggunakan kebijakan “penghilangan personil sipil yang ditargetkan,” yang berarti membunuh mereka melalui “pembunuhan yang ditargetkan,” seperti yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani oleh situs berita Israel sayap kiri 972mag.com

Sementara itu pemimpin partai agama Shas, Menteri Dalam Negeri, Aryeh Deri, menyarankan mencabut kewarganegaraan atas aktivis BDS dari warga Palestina yang tinggal di Israel, dan menahan kewarganegaraan Israel darinya, ia memberikan contoh salah satu pendiri gerakan BDS ini, Omar Barghouti.

Konferensi anti-BDS lainnya direncanakan akhir bulan ini di Los Angeles, dengan godfather (bapak syaithon) Zionis ahli propaganda anti-BDS, Alan Dershowitz, sebagai pembicara kunci.

Konferensi ini adalah bagian dari putaran mesin Israel guna memperbaiki reputasinya. Citra Israel di dunia, khususnya di Barat, sangat memburuk. Munculnya media sosial ditambah dengan pelanggaran Israel yang mencolok atas HAM warga Palestina, telah memainkan peran sentral dan mendorong lebih banyak orang melihat Israel dengan pandangan negatif.

Gerakan BDS telah meningkat menjadi gerakan yang terkenal pada periode yang sama, yang juga terlihat sepanjang tiga perang Israel berturut-turut dan pengepungan mematikan atas Gaza.

Faktor-faktor ini tak diragukan lagi menyumbangkan perubahan citra Israel di Barat dan bagian lain dunia.

Munculnya BDS dengan tujuan perlawanan tanpa kekerasan oleh warga Palestina dan teman-teman mereka sejak tahun 2005, menimbulkan risiko besar untuk Israel. Selama beberapa dekade, negara Israel bekerja keras memasarkan dirinya sebagai “mata air” atau “agen” demokrasi di wilayah tersebut, tapi angin tidak bertiup sebagaimana keinginan kapal berlayar.

Munculnya BDS merupakan pukulan telak atas citra Israel, yang dikaitkan dengan apartheid dan rasisme, bukan lagi demokrasi dan kesetaraan.

Gerakan boikot menargetkan Israel pada tingkat ekonomi, akademik dan budaya, dan telah menempatkan Israel di benak banyak negara sebagai “apartheid Afrika Selatan yang baru”.

Persepsi seperti ini tentu berbahaya bagi sebuah negara (Israel) yang melihat dirinya sebagai korban, yang membutuhkan simpati terus-menerus dari dunia, terutama Barat. Propaganda Israel yang menyatakan dirinya sebagai bangsa yang tinggal di lingkungan tidak bersahabat dari negara-negara Arab, tiba-tiba berubah dalam pandangan dunia menjadi negara apartheid tentu jadi masalah yang sangat pelik.

Propaganda “Stand-with-us” dan kampanyenya pernah menggambarkan gerakan BDS sebagai ancaman keberadaan negara Israel. Dalam propaganda video klip itu mengklaim bahwa, “sejak kelahiran kembali Israel pada tahun 1948, ia telah bertahan dalam beberapa kali perang. Tetapi saat ini, di samping ancaman fisik atas Israel, bangsa Yahudi juga menghadapi kampanye global yang canggih, yang melemahkan keberadaannya dengan perang kata-kata dan gambar. Kelompok Anti-Israel menggambarkan negara Israel sebagai rasis, kolonialis dan doyan menghancurkan. Israel dituduh kejam dan Palestina didudukkan sebagai korban murni agresi Israel. ”

Pertumbuhan BDS

Selama satu dekade terakhir, BDS telah berhasil mengepung Israel di seluruh dunia, memaksa atau mendorong perusahaan dan bisnis untuk meninggalkan Israel, atau mencegah peningkatan investasi mereka di sana, terutama di pemukiman ilegal (Tepi Barat), dengan kesadaran kalangan bisnis bahwa aktivitas mereka (di pemukiman ilegal) dapat mempengaruhi reputasi dan nama merek dagang. Banyak perusahaan mulai melihat BDS sebagai ancaman pertumbuhan keuangan mereka, yang juga melukai pandangan publik atas etika mereka, yang merupakan bagian dari “Corporate Social Responsibility” (tanggung-jawab sosial perusahaan).

Co-operative Group di Inggris telah mengakhiri perdagangan dengan barang-barang asal dari pemukiman Israel, sementara perusahaan kecantikan Ahava Israel telah menutup cabangnya di London.

Perusahaan keamanan konglomerat, G4S baru-baru ini mengumumkan penghentian banyak kegiatannya di Israel, sementara kebanyakan gereja Quaker di Amerika Serikat telah bergabung dalam daftar panjang pendukung BDS dengan melepas sahamnya di perusahaan Caterpillar, karena penjualan buldoser ke Israel, yang sering digunakan untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina.

Terobosan lain BDS adalah dukungan dari selebriti bidang seni, budaya, industri film dan bidang lainnya. Gerakan BDS telah berkembang dan menjadi lebih efektif karena banyak serikat mahasiswa di universitas Eropa dan tempat lainnya mengadopsi hal itu.

Ketakutan Tingkat Tinggi

Banyak pemimpin Israel nyatakan keprihatinannya tentang BDS, seperti mantan perdana menteri Israel dan mantan pemimpin Partai Buruh Israel, Ehud Barak, yang mengakui pada Januari 2015 bahwa gerakan boikot dibangun, dan Israel tidak mampu melawannya. Israel sangat prihatin jika seruan boikot datang dari Eropa, sekutu mereka dulunya.

“Proses bertahap delegitimisasi atas Israel terjadi di bawah permukaan,” kata Barak dalam wawancara dengan Haaretz. “Gerakan BDS (terus) dibangun… Selama suara-suara melawan Israel datang dari Eritrea atau Mauritania, tak masalah, (tapi) ketika suara mereka datang dari Skandinavia dan Inggris, itu masalah serius.”

Selama kunjungannya ke Afrika Selatan, mantan presiden Israel, Shimon Peres menggambarkan gerakan BDS dan mereka yang mengadopsinya sebagai orang yang kekurangan informasi. Ia mengatakan, “Para ahli yang mendukung hal ini (BDS), sebaiknya kembali ke sekolah (lagi).”

Peres sebelumnya telah menggambarkan BDS dalam klip propaganda Israel, dengan mengatakan, “Sayangnya BDS sekarang [telah] bergabung dengan kampanye kebencian. Kampanye kesalahpahaman. Saya seru semua orang untuk bergabung bersama kami, berdiri melawan BDS, yang menjadi penampilan negatif di Timur Tengah. Kita harus hentikan boikot. Boikot tidak mendukung perdamaian. Hanya harapan menyajikan perdamaian. Bergabunglah dengan kami (Israel).”

Menipu (itulah cara mereka), pernyataan dan posisi politisi Israel telah diterjemahkan ke dalam tindakan mereka. Banyak kampanye diluncurkan selama beberapa tahun terakhir untuk “mengalahkan” BDS, dan menunjukkannya sebagai sebuah gerakan rasis dan diskriminatif, namun dari waktu ke waktu gerakan ini masih saja terus meningkat.

Anti-Semitisme Sebagai Alat (Tuduh)

Dengan pilihan efektif bagi Israel untuk menghancurkan BDS, tampaknya mereka terpaksa menggunakan bendera anti-Semitisme, dengan harapan tudingan itu akan menghalangi orang-orang untuk berkampanye bagi gerakan BDS dan juga bagi mereka yang memboikot Israel. Retorika bahwa BDS adalah anti-Semit mulai muncul seiring pertumbuhan BDS.

Meskipun tujuan BDS tampaknya sejalan dengan hukum internasional, Israel mempromosikan klaim yang tidak berdasar atas gerakan itu, guna mendiskreditkannya.

Sebagai contoh, tujuan akhir dari BDS adalah, “berakhirnya pendudukan [Israel] dan penjajahan atas semua tanah Arab yang dicaplok pada bulan Juni 1967 dan membongkar [pemisahan Tepi Barat, yakni] Tembok Zionis; mengakui hak-hak dasar warga Arab-Palestina di Israel kepada kesetaraan penuh; dan menghormati, melindungi serta mempromosikan hak-hak pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka dan propertinya, sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB 194.”

Forum Global ke-5 Untuk Penanggulangan Antisemitisme yang diselenggarakan di Yerusalem pada tahun 2015 menyediakan rencana tindakan terhadap BDS, dengan mengusulkan bahwa Israel harus terus menyerang. Rencana itu mengusulkan agar “Menekankan konsensus Yahudi bahwa BDS adalah antisemitisme”, dan menyatakan “Perlunya mengatasi promosi gerakan BDS”.

Hal ini juga menunjukkan bahwa aktivis pro-Israel “menegaskan kembali legitimasi Israel atas berdirinya sebuah negara untuk orang Yahudi. Memaparkan hubungan antara gerakan BDS dan antisemitisme. Di Eropa, melabeli (menjuluki) seseorang sebagai antisemitisme, tidak selalu efektif.”

Anti-Semitisme pun dijadikan alat untuk menyerang kritikus dan terkadang merusakkan karir dan reputasi seseorang. Idealnya, seseorang dapat mengklaim bahwa anti-Semitisme untuk Israel telah menjadi “Flak”, yakni faktor model propaganda Chomsky-Herman, yaitu penggunaan tanggapan negatif atas laporan media dan sejenisnya, dalam upaya untuk mendiskreditkan lawan, baik organisasi atau individu, dan merusakan reputasi mereka.

Mengkritik Israel Bukanlah Antisemitisme

Menuduh kritikus Israel anti-Semitisme telah menjadi tren untuk membungkam mereka yang berani membahas pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel di wilayah Palestina yang dijajah.

Mantan anggota Pink Floyd, Roger Waters dituduh sebagai anti-Semit, sebuah tuduhan yang benar-benar ditolaknya. Dia berpendapat dalam sebuah wawancara dengan Telegraph, “Tidak benar bahwa saya seorang anti-Semit, atau saya menentang orang-orang Israel. Saya bukan salah satu dari keduanya. Saya seorang kritikus kebijakan pemerintah Israel. Bahkan, ada orang-orang Israel walau sedikit, baik berdasar agama atau kemanusiaan, ikut berbagi pandangan saya tentang kebijakan keliru pemerintah Israel.

“Hanya karena saya seorang yang mengkritik kebijakan pemerintah Israel ini, dan tidak adanya argumen pemerintah Israel yang meyakinkan untuk mempertahankan diri dari kritik saya, maka saya dituduh sebagai anti-Semit.”

Awal tahun ini, Menteri Luar Negeri Swedia, Margot Wallstrom juga dituduh anti-Semitisme, karena meminta adanya penyelidikan atas pembunuhan tanpa dasar hukum, atas warga Palestina dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun pernyataannya adalah mengkritisi Israel dan kebijakannya, dia dianggap beberapa kalangan sebagai anti-Semit, meskipun dia tidak membuat pernyataan anti-Yahudi. Dia hanya mengkritik Israel.

Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki dituduh anti-Semitisme selama pidatonya di PBB. Maliki dianggap menyulut api saat mengatakan, “Saya menyerukan semua negara untuk memboikot pemukiman (ilegal Yahudi) dan untuk memboikot produk-produk dari pemukiman (tersebut), dan untuk memperingatkan kemungkinan pemberian sanksi ekonomi dan komersial pada kekuatan pendudukan, sesuai dengan pedoman bisnis dan hak asasi manusia.”

Meskipun kata-kata Maliki difokuskan pada pemukiman Israel, yang dianggap ilegal (tidak sah) oleh hukum internasional, Duta Besar Israel untuk PBB menuduh dia berbicara “murni anti-Semitisme”.

Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan sebelumnya telah menawarkan ilustrasi antisemitisme, ketika ia menjelaskan bahwa mengkritik Israel bukanlah anti-Semit. Dia mengatakan: “Dalam beberapa kasus, anti-Semitisme tampaknya menjadi oleh-oleh dari konflik Israel-Palestina, terutama dengan meningkatnya permusuhan dalam beberapa tahun terakhir. Kritik kebijakan Israel adalah satu hal. Tapi itu adalah hal yang lain ketika kritik tersebut mengambil bentuk serangan atas fisik atau verbal, pada individu Yahudi dan simbol-simbol warisan dan agama mereka.”

Narasi akademik jelas mendefinisikan anti-Semitisme sebagai serangan lisan atau fisik, atau apapun permusuhan yang ditujukan terhadap orang-orang Yahudi, diantaranya :
-Gavin I Langmuir, akademik Stanford mencatat pada karyanya yang meliputi Sejarah, Agama dan Antisemitisme dan Menuju Definisi Antisemitisme, mengidentifikasi anti-Yudaisme dan anti-Semitisme sebagai “permusuhan yang diarahkan pada mereka yang diidentifikasi sebagai orang Yahudi”.
-Natalie Isser (1991) telah mendefinisikan anti-Semitisme sebagai “permusuhan kepada Yahudi dan rasa tidak suka atas orang-orang Yahudi”.

Meskipun definisi ilmiah dan adanya perbedaan jelas antara mengkritik Israel dan anti-Semitisme, organisasi pro-Israel dan para pemimpin Israel tetap menggunakan tuduhan anti-Semitisme guna membungkam kritik.

Banyak wartawan, aktivis dan pegiat hak asasi manusia yang dianggap sebagai, atau dituduh anti-Semit saat menyerukan diakhirinya pendudukan atau pembongkaran pemukiman ilegal dan sebagainya.

Penggunaan “anti-Semitisme” oleh Israel sebagai senjata melawan orang-orang yang menentang kebijakannya, tidak akan mencapai tujuan, sebagaimana yang diinginkan Israel.

Satu-satunya cara bagi Israel untuk menghindari boikot lebih lanjut adalah mematuhi hukum internasional dan mengakhiri pendudukan, dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi agama atau etnis yang dipraktekkan di wilayah-wilayah pendudukan.

Sumber : http://www.middleeasteye.net/columns/cry-antisemitism-israeli-conference-takes-aim-bds-1765488731

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *