Artikel, Opini

18 tahun Kematian Rachel Corrie, Gadis Amerika Pejuang Perdamaian Palestina

18 tahun Kematian Rachel Corrie, Gadis Amerika Pejuang Perdamaian Palestina

Oleh: Royhanul Iman

Hari ini, 18 tahun lalu tepat pada tanggal 16 Maret 2003 seorang pejuang aktivis kemanusiaan dan perdamaian asal Amerika Serikat bernama Rachel Aliene Corrie tewas setelah diseruduk dan dilindas secara sengaja oleh buldoser Israel.

Rachel Corrie terbilang masih muda, kala itu ia masih berumur 23 tahun namun dikenal sudah aktif pada isu perdamaian terutama pada konflik yang terjadi di Palestina. Ia merupakan anggota dari International Solidarity Movement (ISM), lahir di Olympia, Washington, Amerika Serikat pada 10 April 1979.

Pada tahun 2003, ribuan rumah warga Palestina telah hancur diruntuhkan oleh Israel. Pertengahan Maret di tahun tersebut, penghancuran pemukiman warga Palestina juga terus dilakukan, termasuk di daerah Rafah, Jalur Gaza.

Rachel terbang dari Amerika ke Palestina dalam rangka menyelesaikan sebuah tugas kuliahnya, di samping itu, ia aktif dalam kegiatan aksi protes menuntut dihentikannya tindakan Israel yang semena-mena dalam menghancurkan pemukiman warga Palestina.

Ketika itu, Rachel bersama teman-temannya berada di garis depan, menghadang buldoser Israel, untuk tidak menghancurkan pemukiman warga di Rafah. Beberapa temannya memegang pengeras suara, berteriak agar mereka menghentikan kegiatan kejinya, namun buldoser yang digawangi militer Israel (IDF) itu tak berhenti, malah melepaskan tembakan ke arah Rachel dan aktivis lainnya.

Mereka tak bergeming, suara tembakan yang terdengar tak menggentarkan mereka untuk terus memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Namun hari itu, menjadi hari yang malang bagi Rachel, ia harus pergi selamanya, namun perjuangan tentunya tak akan pernah berhenti. Semangat perjuangan Rachel akan terus lahir kembali.

Para saksi mata menuturkan, buldoser Israel dengan sengaja melindas Rachel yang pada saat itu, ia bersama aktivis British-American lainnya mengenakan jaket berwarna oranye yang sangat terang. Namun pemerintah Israel mengatakan kejadian yang menimpa Rachel tersebut adalah sebuah kecelakaan dan bukan kesengajaan.

Pada bulan Agustus 2012, pemerintah Israel menolak gugatan perdata keluarga Rachel pada tahun 2005 yang menuntut pertanggung jawaban dan penyelidikan penuh yang kredibel atas kematian anaknya, namun, pemerintah Israel tetap bertahan pada hasil penyelidikan tahun 2003 yang memutuskan Israel tidak bertanggung jawab pada kematian Rachel.

Sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan menghormati perjuangan Rachel Corrie, Aqsha Working Group (AWG) sebuah lembaga yang bergerak pada isu sosial kemanusiaan dan pembebasan Palestina, menggelar kegiatan Webinar yang bertajuk Aqsa Working Group Forum: Mengenang 18 Tahun Kematian Rachel Corrie.

Webinar tersebut diselenggarakan pada Sabtu, 13 Maret 2021 dan dihadiri oleh Chairman Palestine Cultural Organisation Malaysia Dr Muslim Imron, CEO of Al-Quds Foundation Malaysia Dr. Sharif Abu Shamala, Presidium Aqsa Working Group dan Relawan Mavi Marmara Ir. Nur Ikhwan Abadi, Jurnalis Gaza dan Inisiator Great Return March Ahmed Abu Irtimah.

Presidium Aqsa Working Group (AWG) Ir. Nur Ikhwan Abadi mengatakan, Maret 2021 ini menjadi tahun ke 18 setelah meninggalnya Rachel Corrie. Meski kini ia telah tiada, kisahnya terus akan menjadi simbol perjuangan yang tak akan pernah berhenti, dan menjadi tugas bersama untuk meneruskannya dalam perjuangan menuntut hak-hak dan kebebasan rakyat Palestina.

“Rachel Corrie merupakan sosok yang menjadi bukti kejahatan kemanusiaan yang hingga kini masih terus terjadi di tanah Palestina. AWG berharap semakin banyak masyarakat di dunia, dan khususnya di Indonesia yang terus memperhatikan dan peduli atas apa yang terjadi di Palestina,” katanya.

Simbol Perjuangan yang Tak Akan Berhenti

Beberapa hari setelah kematian Rachel, gelombang protes terjadi, teman-teman Rachel bersama masyarakat Palestina melakukan unjuk rasa di lokasi tempat Rachel pergi untuk selamanya itu, tentunya tak berjalan lancar, penghadangan oleh tentara Israel terjadi, bahkan tembakan peluru menemani unjuk rasa damai pada saat itu. Warga Palestina tentu merasa kehilangan, bahkan juga dirasakan masyarakat dunia lainnya yang cinta akan perdamaian.

Selama konflik terjadi, bisa dikatakan bahwa Rachel menjadi orang Amerika Serikat pertama yang mati di tanah Palestina dan juga di tangan Israel.

18 tahun kepergian Rachel menjadi salah satu dari sekian banyak momentum untuk terus menggelorakan perjuangan dan tercapainya hak-hak kemanusiaan, diberantaskannya diskriminasi ketidak adilan, juga terwujudnya perdamaian di muka bumi.

Rachel menjadi bukti, isu kemanusiaan tak kenal latar belakang, asal negara, ras dan agama, terutama dalam hal ini adalah konflik yang terjadi di Palestina. Selama ini yang terjadi dan yang menimpa warga Palestina, adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang bersama harus dilawan.

Umur 23 tahun di sela kesibukan pendidikan Rachel, ia tetap aktif pada isu kemanusiaan, langkah kebaikan yang tak banyak dimiliki oleh sebagian besar orang di kalangan muda seusianya yang kebanyakan sibuk dengan hal-hal yang kurang bermanfaat.

Ia telah tiada, tetapi perjuangan Rachel Corrie belum dan tak akan pernah berhenti, sejalan dengan penderitaan dan ketidak adilan yang terus menimpa rakyat Palestina juga seluruh diskriminasi di muka bumi yang masih terus terjadi.

Orang Tua Rachel Corrie

Dalam sebuah wawancara pada peringatan 15 Tahun Rachel Corrie, yang dikutip dari laman The Progressive, orang tua Rachel, yakni Craig dan Cindy Corrie menuturkan bahwa menurutnya hingga saat ini, masyarakat dunia masih menutup mata dengan apa yang terjadi di Palestina.

Bahkan jauh sebelum itu juga, tidak ada yang memperhatikan atas kejadian yang menimpa warga Palestina. “Dan ini adalah alasan kenapa putri kami pergi ke Palestina (menuntut hak kemanusiaan dan perdamaian),” kata Ayah Rachel, Craig Corrie.

Ibu Rachel, Cindy Corrie menuturkan, belasan tahun telah berlalu sejak Putri yang ia sayangi pergi untuk selamanya itu. Ia mengatakan, Rachel hanya ingin dunia tahu dan bergerak atas apa-apa yang terjadi di Palestina dan menimpa warganya. “Saya pikir kita harus benar-benar mendengar (apa yang terjadi di Palestina), dan benar-benar terlibat,” katanya.

Hingga kini, meski pengadilan Israel telah memutuskan kematian Rachel bukan tanggung jawab mereka, baik Craig, dan Cindy masih terus memperjuangkan keadilan dan pertanggung jawaban bagi Rachel dengan segala cara dan kekuatan yang terbatas.

Craig dan Cindy juga terus melanjutkan perjuangan Rachel, melalui yayasan Rachel Corrie Foundation for Peace & Justice, mereka berjuang membela hak asasi manusia, pemecah masalah sosial ekonomi, dan perdamaian, terutama perdamaian di Palestina.