Artikel

Buya Hamka dan Rahasia Merebut Al-Aqsha

Artikel Hidayatullah, Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi (Akademisi)

BUYA HAMKA adalah salah satu dari ulama dunia yang memiliki perhatian khusus kepada masalah Palestina dan al-Aqsha. Perhatiannya ini banyak beliau tuangkan dalam banyak tulisannya. Dalam Sejarah Umat Islam beliau mengulas tentang Negeri Syam, Perang Salib, dan kerajaan-kerajaan Islam di Syam. Kisah kepahlawanan Shalahuddin al-Ayyubi tampaknya amat menarik perhatian Buya Hamka.

Dan tentunya, hari ini Baitul Maqdis dalam keadaan “tertawan” bahkan terjajah. Sejak 1948 hingga 2024 negeri yang di dalamnya ada kiblat pertama umat IsIam ini ditawan dan dijajah kaum Zionis-Yahudi. Umat ini tengah menanti sosok seteguh Shalahuddin al-Ayyubi. Pahlawan Islam yang menjadikan iman sebagai “senjata” dalam menaklukkan penjajahan sadis Zionis-Yahudi. Selain itu, kemurnian akidah seperti yang ditampilkan Shalahuddin al-Ayyubi dibutuhkan umat ini untuk mengakhiri kebiadaban peradaban Barat yang materialis dan bengis di sana.

Terkait dengan keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam membebaskan Baitul Maqdis dari tangan kaum Salibis, agaknya refleksi sekarang perlu kita lakukan. Dan ini yang diingatkan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya yang legendaris itu. Kata Buya Hamka, di saat ini kaum Bani Israil itu dapat mendirikan kembali kerajaannya di tengah-tengah Tanah Arab, di Palestina yang telah dipunyai oleh orang Arab Islam sejak 1.400 tahun, dan beratus-ratus tahun sebelum itu telah dikuasai negeri itu oleh orang Romawi dan Yunani. Sudah lebih 2.000 tahun tidak lagi orang Yahudi mempunyai negeri itu. Tetapi dengan uang dan pengaruh, mereka menguasai pendapat dunia untuk tidak mengakui negeri Islam itu.

Tujuh negara Arab, hanya satu yang tidak resmi negara Islam, yaitu Lebanon. Ketujuh negara Islam itu kalah berperang dengan Israel di tahun 1948, dan langsung juga negeri Israel berdiri. Maka setelah ditanyai orang kepada Presiden Mesir, (ketika itu Republik Arab Persatuan), Jamal Abdel Nasser, apa sebab tujuh negara Arab dapat dikalahkan oleh satu negara Israel, Nasser menjawab: “Kami kalah karena kami pecah jadi tujuh, sedang mereka hanya satu.”

Kemudian, tengah buku “Tafsir Al-Azhar” ini masih dalam cetakan yang pertama (Juni 1967), Negara Arab tidak lagi tujuh, melainkan telah menjadi tiga belas. Waktu itu sekali lagi Israel mengadakan serbuan besar-besaran. Sehingga dalam enam hari saja lumpuhlah kekuatan Arab Islam, hancur segenap kekuatannya. Beratus buah pesawat terbang kepunyaan Republik Arab Mesir dihancurkan sebelum sempat naik ke udara. Belum pernah negeri-negeri Arab khususnya dan umat Islam umumnya menderita kekalahan sebesar ini, walaupun dibandingkan dengan masuknya tentara kaum Salib dan Eropa, sampai dapat mendirikan Kerajaan Palestina Kristen selama 92 tahun, sepuluh abad yang lalu.

Maka dikaji lah apa sebab sampai demikian? Sebagian orang mengatakan karena persenjataan Israel lebih lengkap, dan lebih modern. Setengah orang lain mengatakan bahwa bantuan dari negara-negara Barat terlalu besar kepada Israel. Setengahnya mengatakan bahwa Amerika dan Rusia menasihati Republik Arab Mesir agar jangan menyerang lebih dahulu; kalau sudah diserang baru membalas. Tetapi Israel lah yang memang menyerang lebih dahulu, sedangkan pihak Arab telah taat kepada anjuran Rusia dan Amerika.

Tetapi segala analisa ini tidaklah kena mengena akan jadi sebab musabab kekalahan. Kalau dikatakan persenjataan Israel lebih lengkap, senjata Republik Arab Mesir tidak kurang lengkapnya. Kalau dikatakan bahwa orang Yahudi Israel itu lebih cerdas dan pintar, maka sejarah dunia sejak zaman Romawi sampai zaman Arab menunjukkan bahwa bangsa yang lebih cerdas kerapkali dapat dikalahkan oleh yang masih belum cerdas. Bangsa Jerman yang waktu itu masih biadab, telah dapat mengalahkan Romawi. Bangsa Arab yang dikatakan belum cerdas waktu itu, telah dapat menaklukkan Kerajaan Romawi dan Persia.

Sebab yang utama bukan itu. Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batin yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang-orang Arab yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam. Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan keimanannya itu. Malahan barangsiapa yang masih mempertahankan ideologi Islam, dituduh reaksioner.

Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan nama Karl Marx, seorang Yahudi. Jadi, untuk melawan Yahudi mereka buang ideologi pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan ideologi pemimpin Yahudi. Kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi-ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab bersedih karena kekalahan perang dengan Israel, Republik Indonesia yang penduduknya 90 % pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara Arab dan hanya berdiam diri.

Ahli-ahli fikir Islam modern telah sampai pada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang-orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materiel berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menantang Arab karena dia Arab, melainkan menantang Arab karena dia Islam. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1082)

Wallāhu ‘Alam bis-shawāb