Opini

Bosankah Kita Bicara Tentang Palestina?

Oleh Arina Islami (Humas AWG)

325 HARI pembantaian massal oleh teroris Israel di Palestina, terhitung mulai 7 Oktober 2023 setelah perlawanan Badai Al-Aqsa diluncurkan. Sejak itu, mata dunia kian tertuju kepada Gaza, membuat bendera Palestina berkibar di mana-mana, riuh dukungan datang dari seluruh penjuru bahkan dari negeri Paman Sam; belum pernah dunia se-Palestina ini.

40.405 orang syahid di Gaza (data Kementerian Kesehatan Palestina pada Ahad, 25 Agustus 2024 pukul 22.30 WIB) akibat pemboman, penembakan, hingga pembakaran di tenda-tenda pengungsi serta fasilitas publik oleh teroris Israel. Angka itu bertambah, terus bertambah setiap hari. Sangat mungkin, ketika tulisan ini Anda baca, jumlah warga yang syahid itu pun telah berubah.

Warga Palestina yang tewas bukanlah sebatas bilangan kosong. Mereka adalah pejuang yang dengan darah syuhada-nya telah menutupi rasa malu di wajah umat Islam yang gagal menjaga Masjid Al-Aqsa. Mereka adalah manusia yang menghibahkan nyawanya untuk menjadi alarm darurat bagi Muslimin di seluruh dunia.

Sudah 10 bulan berlalu, “Sampai kapan harus posting soal Palestina?” “Sampai kapan harus bicara tentang Palestina?” “Sampai kapan harus mengutuk Israel?”

Pernahkah pertanyaan-pertanyaan itu terbesit di kepalamu? Jika iya, kita sama. Lihat, betapa recehnya keimanan kita. Bahkan sekadar posting dan share saja kita merasa sudah cukup berjuang.

Padahal, di tanah para nabi itu, di tengah blokade yang tak manusiawi, pejuang Palestina tetap gigih mengatur strategi melancarkan perlawanan. Di dalam terowongan yang dibuat dengan ketelitian, mereka mengobarkan api perjuangan demi cita-cita mulia. Di saat seluruh mata manusia memandang dengan rasa iba, nyatanya Palestina terlalu menyala untuk dikasihani.

Rakyat Palestina tumbuh dengan keimanan yang begitu tebal, tanpa rasa takut, dan ketakwaan yang begitu suci. Sepertinya diri ini yang lebih patut dikasihani; cinta dunia hingga abai soal Al-Aqsa.

Tahukah kalian betapa hebatnya para pejuang Palestina? Mereka merakit ulang bom-bom gagal milik Israel untuk menjadi “senjata makan tuan” bagi entitas penjajah itu. Mereka membuat jebakan dengan akurat yang berhasil melukai bahkan membunuh teroris Israel. Mereka dengan enteng menghancurkan tank-tank raksasa milik Zionis. Semua itu dilakukan di tengah kesulitan yang tak bisa kita gambarkan lewat kata-kata.

Ketika negara Timur Tengah hanya melontarkan kecaman demi kecaman tanpa mengirimkan amunisi kepada Palestina, Amerika Serikat dan sekutunya bahu-membahu mengekspor senjata ke Israel untuk melanjutkan aksi kriminalnya di Palestina. Tapi lihatlah bagaimana pejuang Palestina itu bertahan. Ralat, bukan hanya bertahan, mereka bahkan melakukan perlawanan. Amazing!

Tulisan ini mungkin hanya sedikit menyebut soal penderitaan Gaza. Kali ini, mari kita fokus dengan kegagahan pejuang Palestina dalam menumbangkan musuh, keberanian mereka bertaruh jiwa dan raga untuk sebuah situs suci yang seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam.

Zionis Israel bahkan telah mengakui kekuatan para pejuang dan menyebut bahwa sampai kapanpun mereka tidak akan sanggup menumpaskan faksi-faksi pejuang seperti Hamas. Sebab perjuangan adalah ideologi bukan sebatas organisasi. “Hamas adalah sebuah ideologi, kita tidak bisa menghilangkan sebuah ideologi,”  kata Laksamana Muda Daniel Hagari kepada stasiun televisi Channel 13 Israel pada Juni 2024.

Kepala Intelijen Militer Israel pun telah mengundurkan diri dan mengakui kegagalannya dalam menghadapi pejuang Palestina. “Kegagalan unit intelijen adalah kesalahan saya,” kata Mayor Jenderal Aharon Haleva pada April 2024 lalu.

Palestina bukan hanya sebuah wilayah yang terletak di peta dunia (yang kini sengaja dihilangkan). Ia adalah simbol perjuangan, harapan, dan kesedihan yang menghubungkan kita dengan kemanusiaan yang lebih luas. Dari generasi ke generasi, rakyat Palestina terus berjuang untuk hak-hak mereka, dan kisah mereka adalah bagian dari narasi besar tentang keadilan dan kemanusiaan.

Bicara tentang Palestina bukan hanya tentang mendiskusikan konflik atau kebijakan politik. Ini adalah tentang mendengarkan cerita manusia yang hidup dalam ketidakpastian, tentang memahami perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak dasar, tentang situs suci umat Islam yang selamanya merupakan milik Muslimin, tentang menyadari bahwa setiap individu di dunia ini layak mendapatkan kesempatan yang sama untuk hidup dalam damai.

Ketika kita membicarakan Palestina, kita sedang berbicara tentang lebih dari sekadar tanah yang dibagi oleh dinding dan perbatasan. Kita sedang membicarakan harapan dan impian yang sama seperti yang kita miliki untuk diri kita sendiri. Kita sedang membicarakan hak untuk hidup, untuk bermimpi, untuk beribadah dengan nyaman, dan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Mengabaikan Palestina bukanlah solusi, melainkan sebuah bentuk pengabaian terhadap hak-hak manusia, hak beragama, dan keadilan. Setiap kali kita merasa lelah membicarakannya, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah kita siap untuk melupakan suara-suara yang terabaikan? Apakah kita siap untuk menutup mata terhadap penderitaan yang terus berlanjut? Apakah kita siap tempat ibadah kita dicuri oleh para teroris dan ekstremis?

Mari kita terus berkomitmen untuk mendengarkan, berbicara, dan bertindak. Karena dalam setiap suara yang kita sampaikan, ada potensi untuk menciptakan perubahan yang berarti.

Jika di tengah penjajahan dan genosida, rakyat Palestina masih terus melanjutkan perjuangannya demi tanah air mereka serta Masjid Al-Aqsa, maka kita yang bisa bernapas lega tanpa khawatir ledakan bom, seharusnya bisa lebih masif berpartisipasi di medan jihad ini. Bagi umat Muslim, ini bukan hanya soal kemanusiaan, lebih besar dari itu yakni keimanan.***