Oleh Asep Fathulrahman (Jurnalis Kantor Berita ANTARA)
ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِن اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)
Tumbangnya rezim Bashar Al Ashad 8 Desember 2024 lalu mengubah peta kekuatan Timur Tengah yang menggelisahkan bagi banyak pihak. Hal itu terjadi karena posisi geografis Suriah yang sangat strategis serta banyaknya negara yang memiliki kepentingan dengan polisi strategisnya tersebut. Bagi kaum Yahudi Suriah adalar bagian dari Tanah Yang Dijanjikan sehingga tak mungkin Israel melonggarkan apalagi melepaskan cengkramannya atas Suriah terutama Dataran Tinggi Golan. Bagi Muslimin, para pejuang Islam serta poros negara-negara yang ingin melawan dominasi AS Israel di Timur Tengah Suriah adalah “cincin emas” dari rantai perlawanan melawan Israel.
Tulisan ini mengulas peta konflik dan peta kekuatan di Suriah dan sekitarnya serta dampak dan prospek Suriah dibawah Mohammed Al Jawlani bagi masa depan Palestina. Saya mencoba menguraikannya dengan bahasan sebagai berikut:
1. Mengapa Bashar Al Ashad jatuh begitu cepat?
2. Poros Perlawanan
3. Mengenal Mohammed Al-Jawlani pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS)
4. Prospek Pembebasan Palestina
1. Mengapa Bashar Al Ashad Jatuh
Bashar Al-Assad di Suriah yang berkuasa sejak tahun 2000 tumbang hanya dalam waktu 11 hari (27 November-7 Desember 2024). Bashar mewarisi kekuasaan dari ayahnya Hefez Al Ashad yang berkuasa sejak tahun 1971. Faksi-faksi pemberontak pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dulu pernah berafiliasi dengan Al-Qaidah, kini telah menguasai kota-kota penting, termasuk Ibu Kota Damaskus. Al Jawlani segera menunjuk Mohammed Al-Bashir menjadi PM untuk memimpin masa transisi Suriah hingga 1 Maret 2024 atau sampan terbentuknya pemerintahan Suriah yang baru.
Sementara Fatemeh Mohajerani, juru bicara pemerintah Iran, mengatakan 4.000 warga negara Iran telah kembali ke negara itu dari Suriah sejak Assad digulingkan. Padahal terlepas dari pro kontra back buruk Bashar, kebijakan Suriah sejak kekuasaan ayahnya Hafez Al Ashad tidak pernah mengakui Israel sebagai negara yang sah dan tidak menerima paspor Israel sebagai paspor yang sah secara hukum untuk memasuki wilayah Suriah; Israel juga menganggap Suriah sebagai negara yang bermusuhan dan secara umum melarang warganya bepergian ke sana, dengan beberapa pengecualian dan akomodasi khusus yang dibuat oleh keduanya…
“Mereka berangkat dengan 10 penerbangan yang diselenggarakan oleh maskapai penerbangan Iran Mahan,” kata Mohajerani di Teheran.
Banyak analis Timur Tengah memaparkan fakta dan runtutan kejadian yang terhubung dengan kejatuhan Bashar Al Ashad. Analis Timur Tengah di King’s College London (KCL), Andreas Krieg menyatakan, salah satu penyebab kejatuhan Bashar adalah retaknya hubungan kemitraan Bashar dengan para penguasa Iran akibat miskomunikasi atau bisa jadi buah sukses dari operasi intelijen Israel yang berhasil merenggangkan kedua rezim. Padahal setelah pemberontak menang dan menduduki Damaskus kedua pihak mengalami kerugian luar biasa; Bashar kehilangan kekuasaannya sedang Iran kehilangan mitra strategis yang selama ini.
Sementara jurnalis senior Iran dari Kantor Berita IRNA, Fereshteh Sadeghi melihat paling tidak ada tiga faktor penyebab jatuhnya Bashar Al Ashad dengan begitu cepat, yaitu:
Transformasi Ideologis
Adanya perubahan strategi pemberontak yang melawan rezim Ashad, mereka meninggalkan “wajah” kekerasan mereka yang nyata dan mengadopsi lebih banyak diplomatik, dan menggencarkan komunikasi dakwah Islam.
“Sementara itu, masyarakat Suriah mulai semakin tidak mendukung tentara Suriah dalam melawan kelompok-kelompok ini seperti yang pernah mereka lakukan. Di beberapa daerah, seperti Aleppo, pintu terbuka bagi pemberontak tetapi tertutup bagi tentara. Ini adalah hasil langsung dari strategi perang hibrida yang berhasil oleh musuh-musuh Suriah,” kata Sadeghi yang beberapa kali bergabung dengan rombongan misi-misi Iran ke Suriah di masa hubungan Bashar dan Teheran masih baik.
Melemahnya Tentara Suriah
Faktor kedua, militer Suriah menghadapi berbagai tantangan pelemahan, termasuk masalah ideologis, ekonomi, dan moral, yang menyebabkan rendahnya motivasi untuk menghadapi teroris. Tidak seperti sebelumnya, ketika penasihat Iran mendukung pasukan Suriah yang termotivasi, kali ini SAA tidak memiliki keinginan untuk berperang, dengan banyak unit yang runtuh saat tanda-tanda pertama konfrontasi.”
Perubahan Sikap Bashar al-Assad Meninggalkan Teheran dan Berpaling ke Negara-negara Arab Teluk
Perubahan paling signifikan terjadi di dalam diri Assad sendiri. Dalam pertemuan terakhirnya dengan Pemimpin Iran pada 10 Juni, sekitar 6 bulan lalu, Pemimpin Iran memperingatkan Assad:
“Barat dan sekutu regional mereka bermaksud menggulingkan sistem politik Suriah melalui perang dan menyingkirkan Suriah dari persamaan regional, tetapi gagal. Sekarang, mereka berusaha mencapai tujuan ini melalui cara lain [Perang Hibrida!!], termasuk janji-janji palsu yang tidak akan pernah mereka tepati.”
“Peringatan ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang situasi tersebut. Bahkan sebelum perang darat di Lebanon, Iran telah berulang kali memberi tahu Assad untuk memperkuat pasukannya mengingat meningkatnya ancaman teroris (oleh kelompok yang didukung Turki) dan memberikan saran resmi, tetapi Assad mengabaikan semua peringatan ini.”
“Assad juga mulai berpihak pada GCC (negara-negara Arab Teluk) dan mereka menekannya untuk menjauhkan diri dari Iran dan perlawanan. Pola ini berlanjut hingga Assad berada di ambang kehancuran. Iran memiliki pejabat tinggi untuk bernegosiasi dengan Assad mengenai komitmen Iran dalam memperkuat posisi Assad.”
Namun, kesalahan strategis yang kritis mendorong Assad menuju kehancurannya: Menaruh harapan pada janji-janji dari para aktor Arab di kawasan tersebut.”
“Ketika Iran menyadari keengganan Assad untuk memberikan dukungan lapangan, Iran memutuskan untuk tidak melakukan intervensi langsung tetapi terus membujuknya hingga saat-saat terakhir.”
Sayangnya, kata Sadeghi, Assad baru menyadari janji-janji kosong itu ketika sudah terlambat.
Dia juga menyebut beberapa momen penting jelang tumbangnya Assad, yang tidak diekspos banyak media Barat. Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Larijani dilaporkan telah menawari Assad sejumlah syarat yang telah ditetapkan 2 minggu lalu di Damaskus. Bashar tidak setuju dengan syarat tersebut dan bahkan menolak bertemu dengan Larijani—utusan khusus Iran—ketika ia kembali ke Damaskus pada hari Jumat, 6 Desember.
Bashar Assad menolak untuk membuka front Golan bagi tentara Garda Revolusi Iran. Pemerintah Assad, setelah menjadi terlalu dekat dengan negara-negara Arab Teluk, telah menerapkan banyak pembatasan pada IRGCQF, hal ini memicu ketidakpuasan. Meskipun setelah Bashar terdesak tidak ada satu teman Arabnya yang membantu.
Mantan perwira garda revolusi Iran (IRGCQF) memperingatkan intelijen Iran tahu sejak 2 bulan lalu bahwa kelompok pemberontak di Idlib sedang merencanakan sesuatu. Ia mengklaim warga Iran berbagi kekhawatiran mereka dengan Turki, tetapi “Turki menipu mereka dan meyakinkan warga Iran bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan—Seharusnya tidak memercayai Turki.
Lebih jauh Fereshteh Sadeghi menilai ada “perpecahan di antara para pembuat kebijakan, penasihat dan bahkan perwira IRGC menjadi 2 kubu:
“Satu kelompok menganggap bahwa tugas Iran adalah melindungi Assad dan membantunya dengan satu atau lain cara. kelompok lainnya (termasuk Presiden Pezeshkian dan anak buahnya) percaya Iran harus menghindari keterlibatan di Suriah.
“Tampaknya jarak yang ditetapkan sendiri oleh Bashar Assad dari Iran, penolakannya untuk membiarkan Front Golan terbuka melawan rezim Zionis pada tahun lalu, kedekatannya dengan UEA dan Rusia juga telah membuat Iran kesal,” ujarnya.
Semua Informasi intelijen tersebut sepertinya sampai juga kepada para petinggi Israel sehingga digoreng dan dikelola untuk merenggangkan Ashad dengan Iran sekaligus mengusir Iran dari Suriah.
“Yang mengherankan apa yang dikendaki Israel yang ada di Iran mesti bisa dicapai dan telah banyak operasi intelijen Israel yang sukses di Iran seperti pembocoran semua data produksi senjata nuklir hingga operasi pembunuhan Ismael Haniyeh yang sangat memalukan bagi aparat keamanan iran,” kata Sadeghi.
2. Poros Perlawanan
Istilah “Poros Perlawanan” lengkapnya Mihwar Al-Muqowwamah, The Axis Resistance, Mehvar e Moqevemat (bhs persia), mengemuka di kawasan Timur Tengah sebagai bentuk perlawanan kolektif negara-negara Arab yang ingin bangkit keluar dari hegemoni AS dan Israel yang secara semena-mena AS menganeksasi dan menghancurkan rezim Irak dan Israel secara semena- mena menjajah, menduduki serta membunuh rakyat Palestina, warga Libanon dan Suriah. Maka terbentuklah Poros Perlawanan – Mihwar Al-Muqowwamah (The Axis Resistance/Mehvar e Moqevemat) yang beranggotakan Iran, Hizbuloh Libanon, Hizbuloh di Irak, Suriah, Yaman, Hamas. Saat Presiden AS George Bush melontarkan ejekan dengan menyebut Poros Perlawanan sebagai Poros Setan segera Rusia turun tangan dengan mengumumkan dukungan terbuka kepada Poros Perlawanan. Tujuan Rusia tentu saja sama persis dengan tujuan Iran untuk membangun kekuatan pengimbang di kawasan yang sangat strategis dan merupakan jantung peradaban dunia. Maka bisa dibayangkan kejatuhan rezim Assad berdampak besar terhadap situasi geopolitik regional di Timur Tengah dengan hilangnya pijakan bagi Poros Perlawanan yang tentu akan segera dimanfaatkan Israel untuk mengokohkan taringnya di Palestina, Libanon serta Dataran Tinggi Golan di Suriah.
Mereka menggambarkan diri sebagai “poros perlawanan” karena menentang hegemoni Amerika Serikat-Israel di wilayah tersebut, Iran dan sekutunya akan berusaha untuk memulihkan daya tangkal terhadap Israel tanpa memprovokasi perang regional besar-besaran, kata para analis kepada Al Jazeera, seraya memperingatkan bahwa ruang untuk salah perhitungan sangat tipis.
Salah satu argumen di Iran saat ini adalah bahwa mereka perlu menunjukkan respons yang tegas dan menunjukkan kesiapan mereka untuk berperang untuk meredakan ketegangan,” kata Hamidreza Azizi, seorang ahli tentang Iran dan peneliti non-residen di lembaga pemikir Middle East Council on Global Affairs di Doha, Qatar.
“[Para pemimpin Iran berpikir] bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, maka Israel tidak akan berhenti dan setelah beberapa waktu mungkin akan ada pejabat-pejabat Iran yang menjadi sasaran Israel secara terbuka di negara itu,” tambahnya.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan bahwa sudah menjadi “kewajiban” negaranya untuk membalaskan dendam Haniyeh, setelah dia terbunuh di ibu kota Iran, Teheran, ketika sedang menghadiri pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian pada 30 Juli lalu.
Agustus 2010. [ 52 ] Dua tahun kemudian, Ali Akbar Velayati, penasihat senior urusan luar negeri bagi pemimpin tertinggi Iran, menggunakan istilah tersebut dan berkata:
Rantai perlawanan terhadap Israel oleh Iran, Suriah, Hizbullah, pemerintahan baru Irak, dan Hamas melewati jalan raya Suriah… Suriah adalah cincin emas dari rantai perlawanan terhadap Israel. Penegasan tersebut menunjukkan betapa pentingnya posisi strategis Suriah untuk dipertahankan.
3. Mohammed Al Jawlani
Ada empat faksi utama yang bertempur, yakni Rezim Ba’ath, pasukan Kurdi, ISIS, dan pihak oposisi lain seperti Jaish al Fateh dan Hayat Tahrir al-Shams (HTS) yang dipimpin Muhammed Al-Jawlani. Lalu siapa sebetulnya Al-Jawlani?
Simpang siur asal usul dan identitas Al-Jawlani. Nama Abu Mohammed al-Jolani adalah nama samaran. Adapun nama asli dan tempat asal-usulnya masih diperdebatkan. Dalam sebuah wawancara dengan PBS, al-Jolani mengaku bernama asli Ahmed al-Sharaa dan keluarganya berasal dari Golan, Suriah. Ia sendiri lahir di ibu kota Arab Saudi, Riyadh—tempat ayahnya sempat bekerja. Kemudian dia tumbuh besar di Damaskus, Suriah.
Bergabungnya al-Jawlani dengan kelompok al-Qaeda di Irak diperkirakan terjadi pasca invasi militer koalisi negara-negara pimpinan Amerika Serikat pada 2003. Kala itu invasi militer tersebut menjungkalkan Presiden Irak, Saddam Hussein, serta Partai Baath.
Pada 2010, pasukan Amerika Serikat di Irak menangkap al-Jawlani dan memenjarakannya di Camp Bucca, dekat perbatasan Irak-Kuwait. Di sini ia bertemu dengan sosok-sosok kombatan militan lainnya. Belakangan mereka bersatu membentuk Negera Islam yang disebut juga sebagai ISIS.
Dari kelompok inilah muncul sosok yang di kemudian hari memimpin ISIS di Irak, Abu Bakar al-Baghdadi. Al-Jolani sempat berkata kepada media bahwa setelah konflik bersenjata melawan Presiden Bashar-Al Assad terjadi di Suriah pada 2011, al-Baghdadi memerintahkannya untuk pergi ke negara tersebut untuk membentuk kelompok perlawanan.
Al-Jawani lantas menjadi komandan kelompok bersenjata Nusra atau Jabhat al-Nusra, yang terafiliasi dengan ISIS. Kelompok tersebut diketahui meraih banyak kemenangan dalam pertempuran. Pada 2013, al-Jolani memutuskan hubungan kelompok Nusra dari ISIS dan menempatkan kelompok tersebut di bawah komando al-Qaeda. Akan tetapi, pada 2016, al-Jawlani mengumumkan pemutusan hubungan Nusra dengan al-Qaida.
Pada 2017, al-Jolani mengatakan kelompoknya telah bergabung dengan kelompok lain di Suriah untuk membentuk Hayat Tahrir-Al Sham dan dirinya menjadi pemimpin gabungan kelompok-kelompok milisi tersebut. Pada 2021, al-Jolani berkata media PBS bahwa pihaknya tidak mengikuti strategi jihad global ala al-Qaeda, melainkan fokus pada upaya menjungkalkan Presiden al-Assad. Dengan demikian AS dan negara-negara Barat pun memiliki tujuan yang sama dengan dirinya. “Wilayah ini tidak merepresentasikan ancaman keamanan kepada Eropa dan Amerika,” katanya. “Wilayah ini bukan tempat persiapan jihad di tempat lain.”
Tidak hanya menolak ajaran Al-Qaida, pada tahun 2020, HTS menutup basis al-Qaeda di Idlib, merebut persenjataan, dan memenjarakan sejumlah pemimpinnya. Kelompok tersebut juga balik memerangi dan menghancurkan operasi ISIS di Idlib.
HTS diketahui menegakkan hukum Islam di wilayah kendalinya, tetapi dengan cara yang lebih longgar dibanding kelompok-kelompok jihad lainnya. Kelompok tersebut juga secara terbuka menjalin hubungan dengan komunitas Kristen dan kelompok non-Muslim lain. Hal ini membuat HTS sempat dikritik kelompok jihad lain karena dianggap terlalu moderat.
Sedang di pihak Barat, organisasi HAM menuduh HTS melakukan penindasan terhadap aksi protes dan telah melakukan pelanggaran HAM. Namun al-Jolani membantah tuduhan ini. HTS dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh sejumlah negara Eropa, Timur Tengah, serta Dewan Keamanan PBB. Pemerintah AS pun menawarkan uang sebesar US$10 juta (Rp158 miliar) bagi pihak yang bisa menangkap al-Jolani.
Sebelum menaklukan Ibukota Suriah Damaskus, Al Jawlani telah lama menaklukan barat laut Suriah meliputi Idlib dan Alepo dan mendirikan pemerintahan sipil yang dikenal sebagai Dar Assalam (Pemerintahan Negeri Keselamatan), yang sebagian telah berupaya memerintah dengan persetujuan. “Ada pemerintahan [independen] di sini”, kata pemimpin kelompok itu, Abu Mohammed al-Jawlani, kepada PBS News pada tahun 2022. Al Jawlani bersama HTS menegakkan hukum Islam di wilayah kendalinya, tetapi dengan cara yang lebih longgar dibanding kelompok-kelompok jihad lainnya.
Mereka juga secara terbuka menjalin hubungan dengan komunitas Kristen dan kelompok non-Muslim lain. Namun tetap saja hal itu membuat HTS sempat dikritik kelompok jihad lain karena dianggap terlalu moderat. Tak mudah bagi Al-Jawlani sebagai mantan aktifis Al-Qaida, lebih-lebih pernah bersinggungan dengan ISIS, untuk bisa diterima dunia secara terbuka.
Alasan pemerintahan ini bertahan begitu lama adalah karena secara sadar mencoba belajar dari kegagalan al-Qaeda di Irak (yang kemudian menjadi asal mula ISIS). Penekanan mereka pada pemerintahan dengan kekerasan, yang membuat orang-orang brutal agar menerima otoritas mereka, dianggap kontraproduktif. “Pengalaman Irak tidak boleh terulang,” kata Jolani.
Idenya adalah untuk belajar dari ekses kampanye jihad sebelumnya dan membangun model pemerintahan yang lebih cerdas untuk memastikan keberlangsungannya. Selain itu, Jawlani juga memastikan bahwa wilayah HTS tidak digunakan sebagai batu loncatan untuk menyerang target-target Barat, dengan menyadari bahwa langkah seperti itu akan membangkitkan upaya militer internasional terhadap negara barunya.
4. Prospek Pembebasan Palestina Melalui Suriah
Untuk kondisi geopolitik saat ini Suriah merupakan satu-satunya peluang untuk membuka akses masuk ke Palestina di tengah pengepungan Palestina yang begitu rapat oleh Israel. Realita menunjukkan kita tidak bisa berharap banyak bisa masuk ke Gaza/Palestina melalui Jordania, apalagi berharap kepada Mesir. Meski Jordania dan Mesir merupakan penganut Islam Sunni dan sangat dekat dengan Gaza, malah gerbang Rafah pintu masuk ke Gaza Selatan juga ada di wilayah Mesir. Mestinya Mesir bisa berbuat banian untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui Rafah. Namun dalam kenyataannya mengapa Mesir tak bisa dan hanya tunduk membuta kepada perintah Israel saat diperintah untuk menutup rapat dan tidak membuka Rafah yang merupakan satu-satunya akses masuk ke Gaza/Palestina.
Dua fenomena Jordania dan Mesir tersebut menunjukkan betapa kedua rezim di negara itu sudah benar-benar tersandera dan sama sekali tidak bisa berkutik menghadapi kebiadaban Isreal. Sekalipun yang dibakar, rumah dibom, dan bayi-bayinya tias hari disembelih Yahudi Israel adalah saudaranya sendiri sesama muslim di Gaza/Palestina. Sangat tidak masuk akal kalau Jordania dan Mesir lebih memilih taat dan tunduk pada setiap kemauan Israel, ketimbang peduli dengan saudara tetangganya sendiri di Gaza/Palestina yang sedang sangat menderita dan sangat membutuhkan uluran tangan pertolongan saudaranya yang terdekat itu.
Jangankan datang untuk membela dan melindungi, sekedar membuka pintu Rafah untuk masuknya bantuan kemanusiaan Internasional bagi warga Gaza/Palestina tidak mereka lakukan. Saudaranya menjerit kelaparan dan mati dianiaya Zionois mereka (Mesir dan Jordania) tak peduli yang penting Yahudi Israel tidak terganggu. Kondisi tersebut jelas hanya bisa diartikan satu makna; keduanya tersandera dalam genggaman Israel.
Yang memprihatinkan di ujung tahun 2024 ini akses untuk suplai bantuan ke Palestina melalui Suriah juga tertutup dengan tumbangnya rezim Bashar Al Ashad. Bashar yang gigih hingga akhir tidak pernah mau mengakui Israel serta terus konsisten memusuhi kebrutalan Israel sudah bertahun-tahun mengizinkan negerinya dijadikan jalur masuknya bantuan logistik dåsar hingga amunisi perang dari Iran ke Gaza dan Libanon. Bashar hengkang ke Moskow dan digantikan lawan politiknya Mohammed Al Jawlani. Maka ditangan Jawlanilah sekarang harapan tertumpu. Mengingat posisi strategis Suriah yang teramat petting, mengingat pribadi Jawlani yang merupakan penganut Islam Sunni dengan segala pengalaman perjuanganya di Afghanistan dan Irak, dan mengingat sangat mendesaknya uluran bantuan kemanusiaan bagi saudara-saudara kita di Gaza/Palestina.
Saya melihat peluang Indonesia, Muslim Indonesia, juga Jamaah Muslimin dan semua aktifis kemanusiaan Internasional untuk berkomunikasi dan menjadi silaturahim dengan Jawlani sangat terbuka mengingat kondisi beliau yang sedang sangat membutuhkan dukungan Internasional. Begitu memulai rencana untuk mengurus Suriah tentu saja dia sangat butuh untuk disapa didukung dan didoakan. Paling tidak kita ucapkan; “Selamat, semoga Suriah, pemerintahan serta seluruh rakyatnya senantiasa selalu dalam rahmet dan lindungan Allah. Semoga Allah selalu menjaganya supaya bisa selamat dari segala fitnah dan jebakan kaum kafir Yahudi dan Nasrani, selalu berpihak kepada Allah selamanya. Semoga.”
Yang paling menarik dari beberapa statemen dan tulisannya, Jawlani jelas sangat fasih saat membahas khilafah Islam tentu saja dalam versi politik sesuai pengalamannya bergaul bertahun-tahun dengan Al-Qaida dan Albaghdadi petinggi ISIS. Namun demikian dari keberaniannya mengkritik Al-Qaida dan kebrutalan ISIS yang membabi buta kemudian secara tegas berani memutuskan hubungan dengan ISIS yang dulu mengamanati dia untuk ke Suriah dan memimpin gerakan muslim Suriah hingga sekarang, juga menyatakan putus hubungan dengan Al-Qaida serta tercermin dari tindakannya ingin menerapkan Islam yang lebih rahmah di Idlib dan Alepo menunjukkan wajah bijak beliau yang rahmatan lil alamin. Bukankah ini pertanda bagus untuk membuka dialog dengan beliau dan bertukar pandangan tentang Islam non politik.
Ungkapan bijak Jawlani tampak dalam satu wawancaranya dengan wartawan Suriah, dia menyatakan: “Memang, kelompok-kelompok seperti al-Qaeda dan Taliban telah secara terbuka mengutuk ISIS karena menggunakan apa yang mereka anggap sebagai ajaran Islam aksesoris daripada ajaran yang lebih mendasar.
Namun, terlepas dari perpecahan ideologis dan peruntungan yang menguntungkan, daya tarik Islam politik tetap menjadi kekuatan yang sangat menggoda bagi banyak orang yang mendambakan pemulihan wakil Tuhan di bumi. Didorong oleh berbagai faktor, termasuk keyakinan doktrinal, kepanikan sosial, budaya dan moral, dan realisme politik, gambaran Generation Khilafah sekarang menjadi rumit: menantang, keras kepala, terus-menerus bermetastasis, terkadang pragmatis, terkadang doktriner.”
Perhatikan Jawlani menulis kata-kata “daya tarik Islam politik”. Bukankah itu menjukkan setidaknya telah terjadi pergumulan pemikiran wawasan dan keilmuan beliau tentang Islam dan politik. Maka mendialogkan pemikiran Wali Alfatah tentang Islam non politik dengan Jawlani tentu akan menjadi sangat menarik.
Macam-macam kemungkinan bisa terjadi di masa depan di Suriah sebab sudah sangat jelas Israel tidak akan diam berpangku tangan membiarkan pemerintahan baru Al Jawlani berpihak pada Palestina dan merugikan Israel. Tetapi kalau Allah berkehendak menjadikan Suriah dan Jawlani sebagai pintu masuk muslimin dan bantuan relawan International untuk membantu Gaza/Palestina simpa yang bisa menggagalkannya? Dengan apa doa dan cita-cita mulia seperti itu bisa dicapai, tentu dengan upaya, ikhtiar dan bersusah payah untuk meluaskan dakwah dan terus mengembangkan komunikasi lebih-lebih dengan warga Suriah dan Jawlani yang sedang sangat menantikan dukungan dunia.
Allahu a’lam.