Artikel, Opini

Lebih dari Satu Jurnalis per Hari Gugur di Gaza, Ini Harus Dihentikan!

Oleh Rana Setiawan (Relawan Aqsa Working Group, Kepala Peliputan Kantor Berita MINA)

KANTOR Media Pemerintah Palestina mempublikasikan update statistik terpenting terkait perang brutal “Israel” di Jalur Gaza pada akhir tahun 2023. Sedikitnya, 106 jurnalis yang syahid, pria dan wanita, dibunuh oleh tangan  pasukan militer “Israel” selama 84 hari perang brutal di Jalur Gaza, dalam upaya  mengaburkan narasi Palestina dan mengaburkan kebenaran dalam peperangan di sana.

Laporan yang dikutip Kantor Berita MINA pada 31 Desember 2023 tersebut mengindikasikan bahwa seorang jurnalis TV Al-Quds gugur dalam serangan itu, sehingga jumlah jurnalis yang terbunuh di Gaza menjadi 106 orang sejak 7 Oktober 2023.

Pada hari ini, selama 90 hari perang dan agresi yang dilancarkan militer Zionis Israel telah terjadi genosida lebih dari 1.825 serangan menyasar warga sipil, mengakibatkan sejumlah 26.667 syuhada dan orang hilang. 19.667 syuhada yang tiba di rumah sakit, 9.100 anak-anak dan 6.500 wanita, sementara labih dari 56.451 jiwa terluka.

Otoritas militer Israel telah melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Serangan gencar militer Israel yang membabi buta itu telah menghancurkan Gaza, dengan 60 persen infrastruktur di wilayah ini rusak atau hancur, dan hampir 2 juta penduduk mengungsi dalam kondisi kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan.

Menurut Committee to Protect Journalists (Komite untuk Perlindungan Jurnalis), perang militer Israel-gerakan pejuang perlawanan Palestina yang dipimpin Hamas telah menjadi konflik paling mematikan bagi para pekerja media sejak organisasi ini mulai menghitung statistik pada tahun 1992.

Dalam pernyataan sebelumnya, disebutkan bahwa Israel sengaja membunuh jurnalis di Gaza untuk membungkam narasi Palestina, menyembunyikan kebenaran, dan mencegah berita dan informasi mencapai opini publik regional dan internasional. Kita harus mengutuk pembunuhan terhadap jurnalis dan warga sipil lainnya tanpa mendapat hukuman dan memandang hal ini sebagai pelanggaran mendasar terhadap hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional, termasuk Konvensi Jenewa.

Seperti Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan perjanjian internasional untuk mengatur perlindungan terhadap korban perang, termasuk jurnalis. Konvensi ini menyatakan bahwa jurnalis yang mengambil bagian dalam konflik bersenjata harus diperlakukan sebagai warga sipil dan dilindungi dari serangan.

Kemudian Konvensi Perlindungan Jurnalis dalam Konflik Bersenjata, merupakan perjanjian internasional yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2015. Konvensi ini menguatkan perlindungan terhadap jurnalis di daerah konflik, termasuk perlindungan dari serangan, penangkapan, dan intimidasi.

Lalu Prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, pedoman yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1977. Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa semua orang yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata harus dilindungi dari serangan, termasuk jurnalis.

Kita harus menyampaikan solidaritas kepada seluruh jurnalis dan pekerja media yang bekerja di Jalur Gaza yang menghadapi risiko tinggi di tengah operasi militer dan serangan barbar zionis Israel. Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) sedang menyelidiki semua laporan mengenai jurnalis dan pekerja media yang terbunuh, terluka, atau hilang dalam perang tersebut, yang merupakan periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada tahun 1992.

Pada tanggal 21 Desember 2023, penyelidikan awal CPJ menunjukkan setidaknya 68 jurnalis dan pekerja media termasuk di antara lebih dari 20.000 orang yang terbunuh sejak perang dimulai pada tanggal 7 Oktober—dengan lebih dari 19.000 warga Palestina tewas di Gaza dan Tepi Barat serta 1.200 tewas di Israel.

Jurnalis di Gaza menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka mencoba untuk meliput konflik selama serangan darat Israel, termasuk serangan udara Israel yang menghancurkan, gangguan komunikasi, kekurangan pasokan makanan dan pemadaman listrik yang luas. Kita perlu hening sejenak untuk mengingat bahwa ini bukan sekadar angka. Setiap korban memiliki nama, kerabat, orang yang dicintai, dan cerita hidupnya masing-masing.

Komite untuk Perlindungan Jurnalis memiliki catatan suram yang mendata semua orang yang terbunuh, terluka maupun hilang. Mereka yang gugur termasuk wartawan lepas di Palestina yang bekerja untuk layanan  kantor berita internasional, dan yang lainnya adalah jurnalis yang bekerja untuk media lokal di sana–yang memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman lokal tentang apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang gugur dalam serangan udara di rumah mereka, beberapa di antaranya sedang bersama anak-anak dan keluarganya.

Pasukan militer Zionis Israel bersikeras bahwa mereka tidak menargetkan jurnalis, namun Reporters Without Borders mengatakan setidaknya sepuluh orang telah terbunuh ketika sedang meliput berita. Mereka menjadi target serangan. Tentu saja nyawa seorang jurnalis tidak lebih berharga dari warga sipil lainnya, dan dalam krisis yang penuh dengan kekerasan, yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang ini, tidaklah mengherankan jika beberapa di antaranya adalah jurnalis. Namun ada banyak bukti bahwa para jurnalis telah menjadi sasaran, dilecehkan, dipukuli, dan diancam.

Daftar yang dimiliki Komite untuk Perlindungan Jurnalis menunjukkan bahwa otoritas Israel yang patut bertanggung jawab atas sebagian besar insiden yang terjadi. Federasi Jurnalis Internasional (International Federation of Journalists) telah meminta otoritas Israel untuk secara ketat mematuhi hukum internasional yang mengharuskan para pasukan memperlakukan jurnalis sebagai warga sipil dan melindungi nyawa mereka.

Militer Israel telah mengatakan kepada setidaknya dua kantor berita internasional bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan staf media yang meliput krisis Gaza. Untuk itu seruan yang harus terus digaungkan kepada semua pihak yang terlibat dalam operasi militer tersebut untuk menghentikan pembunuhan dan serangan terhadap semua warga sipil termasuk jurnalis yang bekerja di Jalur Gaza.

Lebih lanjut, seruan kepada Pelapor Khusus PBB mengenai situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967 untuk segera memulai penyelidikan atas pembunuhan dan serangan ini. Kami percaya peran jurnalis di wilayah konflik sangat penting untuk melaporkan kebutuhan masyarakat yang terkena dampak konflik, dan untuk memberikan informasi yang akurat dan tidak memihak tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Tentu agar masyarakat internasional dapat memahami situasinya, termasuk situasi yang terjadi selama beberapa dekade atas terjadinya penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap warga Palestina.

Sayangnya, harapan ini kecil, mengingat besarnya pertumpahan darah yang terjadi. Kita semua akan menjadi semakin bodoh dan dunia akan semakin miskin jika pembantaian terhadap jurnalis dan pekerja media tidak segera diakhiri. Masyarakat dan Komunitas internasional harus mengambil sikap bersatu untuk menuntut agar semua penggunaan kekuatan dihentikan secepatnya.

Para jurnalis membawa misi mulia. Mengabarkan setiap peristiwa pada dunia, menginformasikan apa yang sebenarnya terjadi, apalagi ini berhubungan dengan konflik yang sangat serius, yang berhubungan langsung dengan manusia dan kemanusiaan. Itulah mengapa jurnalisme yang baik kini menjadi semakin penting.

Tentu saja tidak ada jurnalis yang sempurna, tetapi sebagian besar pekerjaan mereka mengandalkan kredibilitas. Mereka memiliki protokol profesional yang sudah mapan, yang mengikat mereka pada akurasi faktual, independensi, hak jawab, dan sebagainya. Dalam prosesnya, mereka memberikan tingkat kepercayaan yang membuat pembaca dan pemirsa mau terus mengikutinya. Secara kolektif, tujuannya adalah untuk menciptakan inti informasi yang dapat diandalkan secara independen dan, sebisa mungkin, akurat secara luas dalam krisis yang “berkabut” seperti saat ini. Tanpa komitmen tersebut, jurnalis akan kehilangan otoritas mereka dan karenanya akan kehilangan nilainya.

Mengutip pernyataan, Dr. Asep Setiawan, MA., Anggota Dewan Pers dan Dosen Ilmu Politik FISIP Universtas Muhammadiyah Jakarta, yang telah lebih dari 30 tahun berkecimpung di dunia jurnalistik, sebagaimana peran penting jurnalis atau wartawan dalam mengabarkan berita dalam konflik atau peperangan: “Journalist reporting history.” Jadi keberadaan wartawan itu harus berada di lokasi ketika sejarah sedang tercipta. Melaporkan sejarah harus akurat, harus tepat. Maka melaporkan sejarah harus jujur dan akurat, kalau salah menulis, dampaknya selama-lamanya. Karena sejarah tidak bisa hilang.

Kedua, wartawan itu aktor sejarah, karena berada di lokasi. Dia sebagai aktor yang memberikan kontribusi memberikan informasi kepada publik, tidak hanya menyaksikan tapi juga melaporkan. Penting sekali. Tidak hanya witness, reporting, tapi juga jadi aktor, penulis, dan saksi sejarah.” Solidaritas untuk Jurnalis Palestina, saudara seprofesi dan seperjuangan. Kalian adalah penulis sejarah. Tidak hanya penulis, tapi juga saksi dan aktor sejarah.

Hentikan Blokade Gaza. Hentikan Genosida di Gaza Sekarang!