Opini

Akankah Raja Daud Inginkan Jerusalem Bersih Dari Warga Palestina?

aqsa-dome

[Sebuah terjemah bebas dari tulisan Nadezhda Kevorkova, terbit pada tgl.15 April 2015]

Di kaki Masjid Al-Aqsho pertarungan hidup terjadi di setiap rumah. Jika saja tetangga desa terdekat dinamai Silwan, warga Palestina akan punya kesempatan tinggal. Tetapi jika tetangga desa itu dinamai Kota David (Daud), kesempatan mereka adalah nihil.

Bila Anda tidak ingin tahu apapun tentang kehidupan keras warga Palestina di Jerusalem, Anda tidak akan temukan apapun saat mengunjungi Tanah Suci itu walau berkali-kali. Kebanyakan pembimbing turis bicara tentang Jerusalem seperti tidak ada lagi warga Palestina di sana, kalau pun ada, mereka bukan siapa-siapa, hanya seperti seonggok benda tak berguna.

Tetapi bila Anda ingin temukan tentang bagaimana kehidupan warga Palestina di Jerusalem, Anda tak perlu pergi jauh-jauh, cukup ke Silwan, tetangga paling dekat di kaki Masjid Al-Aqsho.

Zionis Israel jajah desa tetangga ini bersamaan dengan seluruh Jerusalem pada tahun 1967. Warga Israel sebut tempat ini sebagai kota David, dan menyatakannya sebagai bagian dari kota paling tua. Bagi mereka, sebutan itulah kunci terpenting sebagai identitas, mereka ingin hidup disini dan membangun museum disini juga. Bagi warga Palestina, Silwan adalah warisan yang mereka pertahankan tanpa senjata dan bantuan. Mereka percaya, bila mereka tinggalkan Silwan maka mereka semua akan hilang dari Jerusalem. Sebab itulah mengapa ketegangan terjadi disini berterusan bertahun-tahun. Warga Palestina tidak melawan Raja David, yang mereka akui sebagai Nabi. Tetapi mereka melawan kejahatan yang dilakukan atas namanya.

Jawad Siam, kepala Pusat Bantuan Anak, berumur 46 tahun. Dia dan nenek moyangnya berasal dari Silwan.

Pusat Bantuan Anak bukan sekedar tempat bocah lelaki dan perempuan berkarya. Di sisi lain, inilah strategi bertahan di Silwan. Jika anak-anak pergi ke sini, anak-anak tidak akan ribut melempar batu kepada tentara Yahudi, tetapi mereka belajar menggambar, bernyanyi, membuat filem, mengatur perayaan dan membuat cerita. Anak-anak belajar keahlian yang berbeda dan belajar bekerja sebagai tim. Sangat mungkin itulah sebabnya mengapa berkali-kali Pusat Bantuan Anak berusaha ditutup, sebagaimana kerasnya perlawanan kepada orang yang berpendidikan dan mampu berorganisasi.

Jawad dan aku berjalan di tengah hujan turun. Dari jalanan yang tercinta ini, dengan bangunan yang indah dan jajaran batu-batu kecil, membuka pandangan indah Al-Aqsho.

aqsa-domeSeorang perempuan Israel memarkir mobilnya tepat di depan gerbang rumah Jawad. Mestinya hal itu terlarang dan Jawad kepalkan tangan ke atas sebagai tanda larangan. Perempuan itu tetap asyik bicara di telpon genggamnya, tidak perdulikan Jawad dan isyaratnya.

Semua warga Palestina yang melihat itu, dari kalangan anak-anak hingga orang-tua, berkomentar atau berseloroh kepada Jawad.

Dia bercerita kepadaku tentang siapa saja yang kami temui dan bercerita tentang rumah yang kami lewati. Keduanya punya cerita sedih.

“Silwan selalu bergolak di tahun 2007-2012. Mereka (Zionis) ingin menahan warga sebanyak apa yang mereka sanggupi, sehingga warga akan kehilangan pekerjaan dan segalanya diharapkan jatuh berakhir. Kami bayar semua pajak tapi apa yg kami dapat adalah perintah menghancurkan rumah kami sendiri. Kami dilarang perbaiki apapun. Banyak warga yg tidak memiiki lisensi atas rumah mereka. Sejak 1967, di saat Jerusalem dijajah, hanya 30 rumah yg menerima lisensi.”

Jawad sendiri ditahan 42 kali sejak tahun 2007. Saat berusia 14 tahun, dia dikenai tahanan rumah selama lima bulan. Di saat Intifadhoh pertama, dia habiskan beberapa bulan dalam tahanan.

“Saya seakan kehilangan cahaya. Warga lainnya habiskan bertahun-tahun di penjara, dan setelah itu ditendang keluar negeri. Selama beberapa bulan terakhir, mereka (Zionis) menahan warga setiap hari,” jelasnya.

Warga Silwan lainnya adalah Muslem Ode. Dia berusia 15 tahun dan sudah ditahahn 15 kali, termasuk setiap kali ia bicara kepada wartawan. Saya juga berminat bicara padanya, tapi menghadapi dilema, bila kami bicara maka ia akan masuk penjara. Jawad lakukan panggilan telpon kepada orang-tuanya untuk aku, tapi orang-tuanya meminta hentikan wawancara dulu karena ia sedang dalam pemulihan setelah penahanannya yang terakhir.

Pusat Bantuan Anak mencatat semua kejahatan terhadap anak-anak dan memproduksi dokumentasi tentang penahanan.

“Penahanan tidak selalu dilakukan oleh tentara. Kadangkala, anak-anak diculik oleh pemukim Yahudi. Kami berusaha mencatat semua kasus. Mereka (Yahudi) memukuli dan melecehkan anak-anak. Kami tidak dapat mempublikasikan fakta tentang pelecehan seksual dalam laporan, tapi ada satu keluarga yang memaksa kami melakukannya, dan kasus ini tercatat pada arsip kami”, kata Jawad.

Faktanya ada CCTV yang aktif 24 jam dan dinstalasikan di setiap sudut, sehingga semua kejadian terekam videonya. Tidak ada masalah dengan identifikasi atau pelacakan para penculik. Masalahnya rekaman itu percuma saja. Jawad percaya bahwa semua itu terjadi karena Pasukan Zionis berpihak kepada Pemukim Ekstrimis Yahudi.

“Aku tinggal di Jerman, di sana ada Nazi, sebagaimana halnya para ekstrimis disini, mereka berpikir dan menggunakan cara yang sama.” Jawad menghabiskan tujuh tahun di Jerman dan Turki untuk mendapatkan pendidikan sebgai pekerja sosial. Istrinya berkebangsaan Serbia, mereka dikaruniai 2 anak, anak perempuan 9 tahun dan anak lelaki 10 tahun. Lima tahun lalu, istri Jawad dikeluarkan dari negerinya bersama anak-anaknya. Dia tidak boleh berkunjung saat ini, terlepas dari fakta bahwa dia memiliki hak tinggal sementara.

“Mereka (Zionis) beri waktu tiga hari untuk mengepak barang dan pergi. Sekarang istri saya dilarang berkunjung, dan saya pun tidak bisa pergi menengoknya karena saya akan terkena resiko tidak boleh masuk Jerusalem kembali. Maka istri dan anak-anak tinggal di Jerman, sedang aku disini,” tutur Jawad, menggambarkan betapa sulitnya bagi orang lain untuk membayangkan bagaimana kehidupan warga Palestina.

Keluarga yang tinggal terpisah adalah hal “normal” bagi warga Palestina, sebuah kenyataan yang hadir ditengah-tengah mereka. Hal demikian terjadi pada penduduk Jerusalem. Tidak ada sesuatu yang mencegah mereka untuk bicara kepada media massa dan pencantuman namanya, kecuali rasa takut datangnya masalah baru terkait rumah dan idzin tinggal mereka disana.

Jawad mendapat panggilan telepon dari seorang temannya. Setelah rampung telepon, dia cerita kepadaku bahwa temannya (di telepon tadi) berasal dari Jerusalem. Istri teman tersebut berasal dari Hebron (Al-Kholil). Mereka tidak dapat hidup bersama di Jerusalem karena istrinya tidak akan pernah mendapat idzin tinggal. Mereka tidak dapat hidup di Hebron juga karena tidak ada pekerjaan disana, dan yang paling utama adalah : bilamana penjajah Jerusalem tahu bahwa ia pergi keluar Jerusalem, maka mereka akan ambil alih rumahnya di Jerusalem. Baru saja terjadi saat Jawad ditahan ternyata mobilnya diambil-alih. Satu lagi problem menimpa dirinya.

Bagi warga Palestina, berbagai hal yang biasa kita kerjakan setiap hari, dapat berakibat serius dan mengubah kehidupan mereka.

“Bila aku berikan tumpangan kepada seseorang dari Tepi Barat lalu mereka (Zionis) menemukanmu maka mereka rampas mobilmu. Berapa banyak warga di penjara hanya karena tindakan kriminal -diantaranya karena- membawa istrinya atau wartawan yang berasal dari Tepi Barat di mobilnya,” Jawad menandaskan.

Untuk tinggal di Isreal, seorang warga Palestina yang berasal dari Tepi Barat perlu membawa daftar situs yang dapat ia singgahi, berikut jam kunjungannya. Contohnya : idzin untuk menerima pengobatan dari Rumah Sakit bukan berarti ia juga mendapat idzin mengunjungi keluarganya yang terdekat. Bahkan ia tidak boleh membeli air minum di pasar setempat.

“Saat aku membawa seorang wartawan keluar dari pemukiman, aku langsung ditahan,” jelas Jawad.

Dia paham mengapa Pusat Bantuan Anak menjadi duri di lain sisi bagi tetangga sekitarnya.

“Kami membuat anak-anak sibuk, sehingga mereka tidak berada di jalanan. Kami hibur mereka. Kami berikan kesibukan dan perlombaan, kami ajari mereka menyanyi dan menari. Kami berikan tempat menarik. Anak-anak menulis puisi dan belajar menggambar. Itulah sebabnya mereka (Zionis) ingin kami menutup tempat ini,” tambah Jawad. Militer Zionis menggeledah tempat ini lebih dari sekali.

Tidak ada lembaga Palestina di Silwan atau Jerusalem. Tidak ada polisi atau pemerintah lokal, walaupun berdasar PBB, Jerusalem Timur adalah wilayah otonomi Palestina. Maka Pusat Bantuan Anak adalah satu-satunya organisasi warga Palestina terdekat.

Satu-satunya hal yang dapat warga Palestina lakukan adalah saling mengeratkan hubungan mereka dalam bertahan.

Data Jawad menunjukkan bahwa sebanyak 65 rumah milik warga Palestina akan dihancurkan.

Dia mengatakan bahwa pondasi semua bangunan rumah-rumah itu sudah dibuat sebelum 1967. Semuanya milik warga Palestina, tetapi pemiliknya tidak boleh memperbaiki atau memperluasnya. Berdasar pengakuan Jawad, tidak ada rumah baru disana kecuali yang dibangun oleh pemukim Yahudi.

Bila Anda tidak mau menghancurkan rumah saat menerima perintah Zionis, Anda harus membayar sejumlah uang.

“Dua tahun lalu, mereka mengirimi aku lima perintah penghancuran rumahku,” kata Jawad. Saat ini, rumahnya belum dihancurkan, tapi cepat atau lamabat, karena ia seorang warga Palestina, dia tidak dapat menolak perintah tersebut di pengadilan.

Walau sudah membayar sejumlah uang, militer bisa saja membuldozer rumah.

Area dimana rumah-rumah sudah dihancurkan, para arkeologi sibuk menggali dan pekerja sibuk membangun tempat bersejarah. Anda dapat melihat hal itu melalui lubang pembatas. Tidak ada arkeolog Palestina yang diidzinkan bergabung.

Di Tanah Suci itu, para arkeolog memainkan peranan penting dalam politik, yakni pihak kedua setelah angkatan bersenjata. Arkeolog Israel selalu mencari artifak untuk membuktikan betapa lamanya mereka hadir di Jerusalem, tapi hingga kini nihil.

Jawad datang dari Silwan, sebagaimana kakeknya yang berusia 93 tahun. Semua keluarganya lahir dan besar disini.

“Tetapi pemukim Yahudi merampas rumah ibuku,” tutur Jawad dengan wajah memelas.

“Nenekku wafat 1991 lalu. Di saat ia merendam tubuhnya (mandi), seorang Arab datang. Tamu itu membawa tujuh lembaran kosong -yakni sejumlah anak nenek itu- dan meminta si nenek menutupi badannya dan memberi cap jempol di setiap lembaran, bukan tanda tangan. Si tamu mengatakan bahwa ia akan menolong melindungi rumah kami.”

“Mengapa? Enam anak dari nenekku hidup diluar Palestina. Bila aku kehilangan rumah, aku akan dikeluarkan dari negeri ini selamanya. Inilah kebijakan hukum Israel. Kami, penduduk Palestina di Jerusalem, dianggap penduduk sementara. Dan inilah status permanen kami. Jika seseorang kehilangan status sebagai penduduk sementara, maka rumah miliknya akan diberikan kepada pemukim Yahudi. Apa yang membuatnya lebih buruk adalah Anda dapat saja kehilangan rumah dengan beragam alasan,” imbuhnya.

Karena si tamu tadi adalah tetangga mereka, yang juga warga Palestina, mereka berpikir dapat mempercayainya. Tetapi si tamu itu menjadi pengkhianat. Dia jual lembaran itu kepada warga Israel, dan tahun 1994 pemukim Yahudi ambil-alih rumah tersebut.

“Kami pergi ke pengadilan dan buktikan dengan cepat bahwa lembaran itu adalah pengakuan palsu. Tapi pemukim Yahudi itu masih disana. Mereka pebisnis, dengan ratusan pendukung dan dana. Hakim memanggil pemilik rumah tapi dinyatakan dia -si pemilik rumah- tak lagi memiliki rumah itu karena lembaran itu sudah diperjual-beikan oleh banyak orang. Jadi, legalnya rumah itu milik kami, tapi butuh puluhan tahun untuk mengembalikannya,” Jawad menjelaskan.

Jawad menyebutkan banyak hukum yang diterapkan pada kepemilikan rumah.

“Anda harus selalu berada di rumah secara permanen, bila Anda berada diluar rumah terlalu lama, penjaga perbatasan akan menutup gerbang, walaupun ada bukti kepemilikan, tidak perduli bukti tanpa hutang atau pajak yang telat bayar.”

Ada saja seseorang yang menjual lembaran kepemilikan kepada warga Israel seharga $30,000.

“Dia (pengkhianat tadi) tidak pernah terlihat lagi disini. Mungkin saja dia punya identitas baru. Ya begitulah, semuanya sangat mungkin bila ada uang yang ingin diraih.”

Jawab berkata merupakan hal terbaik bila pertemuan diakhiri dengan catatan positif. Dia menunjukkan padaku filem yang dibuat oleh Pusat Bantuan Anak yang diasuhnya. Filem menarik yang menampilkan nyanyian anak lelaki dan bacaan ayat oleh anak perempuan. Saat kami sedang menontonnya, Jawad jelaskan bahwa anak-anak itu satu per satu ditahan. Tidak ada satu pun diantara mereka yang melempar batu ke polisi atau menyandang senjata, atau ambil bagian dalam politik.

Itulah puncak peperangan bagi warga Palestina untuk tetap tinggal di Jerusalem. Perlu keteguhan dan aksi nyata. Jawad berpikir, itulah normalnya.

“Demikianlah kehidupan bagi setiap warga Palestina di Jerusalem,” katanya mengakhiri perjumpaan.

Sumber : http://rt.com/op-edge/249825-palestinians-jerusalem-silwan-neighborhood-david/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *