BismilLah.
[Sebuah terjemah bebas dari tulisan Kashan Arshad, terbit pada 31 Desember 2013]
Aku bertanya pada diri-sendiri kapan aku akan melakukannya, “Dapatkah aku sholat Jum’at di Jerusalem?”
Saat aku merencanakan liburan ke Jerusalem, aku tahu bahwa aku akan punya resiko kehilangan uang karena sewa hotel dan perjalanannya, sebagaimana (hilangnya) waktu dan tenaga seiring liburan itu.
Aku sering kunjungi Pakistan dan Lebanon, yang mana Israel berperang dengannya sejak 1948. Aku berencana masuk ke Jerusalem melalui Jordan, bilamana gagal, aku bisa gunakan rencana B dan memulai liburan ke Jordan lebih awal dari jadwalnya.
Aku berangkat jam 7 pagi dari Madaba di pusat Jordan, dan masih saja ragu bisakah aku melakukannya. Dapatkah aku sholat Jum’at di Jerusalem, seperti harapanku?
Saat taxi bergerak menuju jembatan perlintasan Tepi Barat, aku mulai merasa mulas. Tetapi aku berusaha melihat sekeliling supaya tenang, dengan memandang bukit Mount Nebo yang indah.
Saat aku tiba di perlintasan -yang Israel menganggapnya sebagai perbatasan- dan sampai di pos pertama, aku ditanyai beberapa hal:
“Apa tujuan semula kunjungan Anda?”
“Berapa lama Anda akan tinggal?”
“Darimana negara asal Anda?”
Pertanyaan ke-3 mengundang tanda tanya besar dan mereka ingin melihat paspor Pakistan milikku beserta paspor Inggris, yang kugunakan untuk masuk ke Israel.
Aku pikir hal itu karena pertama-kalinya mereka lihat “paspor hijau” dan beberapa petugas imigrasi mengambil foto bagian depan paspor dengan handphone mereka.
Istriku dan aku kemudian diantar dari pintu pertama ke kamar periksa berdiri, setelah kami dipisahkan. Petugas lalu menanyai aku dengan pertanyaan yang lebih banyak, bahkan tentang istriku sebelum aku nikahi.
Mereka bertanya tentang negara mana saja yang pernah aku tinggali, negara yang aku kunjungi, pekerjaanku, bagaimana aku biayai perjalanan, apa yang dilakukan orangtua dan saudara kandungku dan apapun hal yang tercantum di pasporku.
Sungguh jelas terlihat bahwa di saat petugas mendengar jawabanku, dia hanya mencoba menerka reaksiku atas berbagai pertanyaan. Dapat aku katakan bahwa 80% saat itu, petugas lebih memperhatikan ekspresi wajahku daripada mendengar apa yang aku katakan.
Pertanyaan lucu yang dia ajukan dengan ekspresi cemas adalah, “Kamu pernah ke Lebanon?”
Aku hanya tersenyum geli dan menjawab, “Ya, aku berkunjung ke tempat wisata di sana. Aku suka bepergian.”
Sementara itu, istriku juga ditanyai hal yang sama secara terpisah. Saat ditanyakan tentang pekerjaanku, istriku menjawab dengan pekerjaanku yang lalu, karena aku berganti pekerjaan beberapa kali. Istriku mengatakan bahwa petugas berubah raut-mukanya karena jawaban itu. Istriku berusaha mengingat-ingat kembali dan syukurlah, jawabannya tepat.
Setelah kami beres dari pemeriksaan awal imigrasi, kami menghadap ke meja ke-2 dimana paspor kami di-stempel dengan visa. Kami kemudian mengisi formulir yang menyatakan bahwa kami tidak tahu tentang warga Palestina.
Setelahnya, aku ditanyai oleh seseorang dari kementrian dalam negeri. Mereka mencatat apapun yang aku katakan, termasuk nomor telpon saudara kandungku.
Kemudian ada waktu tunggu enam (6) jam, yang aku gunakan untuk berbincang dengan lelaki Afrika Selatan, yang sudah ditolak dua kali tapi akhirnya diberi visa saat dia berkunjung beserta orangtuanya. Rupanya, bila seorang lelaki sendirian saja akan sering ditolak.
Di saat kami tiba di Jerusalem, kami sudah kehilangan sholat Jum’at. Tapi kami sempat melihat asap hitam dari gas airmata dan ledakan lainnya yang dilemparkan oleh tentara Israel ke kompleks Al-Aqsho sebagai respon atas lemparan batu remaja Palestin kepada Yahudi. Mereka (Yahudi) sendiri secara paksa menggunakan kekerasan untuk melaksanakan ibadah dekat dengan masjid.
Kami merasa gembira bahwa kami sudah diijinkan memasuki tempat suci ini.
Walaupun aku merasa melanggar hukum dengan mengunjungi Palestina dan beberapa daerah yang dijajah Israel, karena aku adalah warga Pakistan dan paspor menunjuki dengan jelas :
“Paspor ini sah untuk semua negara kecuali Israel”.
Aku hanya keheranan, bagaimana Pakistan yang merupakan republik Islam, mencegah warganya mengunjungi Masjid Al-Aqsho, tanpa perlu memandang negara manapun yang menguasai Jerusalem.
Bila semua Muslim menunda kunjungan ke Jerusalem hingga ia merdeka, atau hingga ada perjanjian damai antara Israel dan Palestin ditandatangani (yang hampir tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat) maka kita dengan cantiknya menyerahkan Masjid mulia ke atas piring perak Israel, yang akan seenaknya mereka perlakukan. Mereka (Israel) bisa saja mengubah sebagiannya jadi kebun raya atau membelahnya jadi dua seperti Masjid Ibrohim di Hebron. Bilamana pelataran sholat di Masjid Al-Aqsho selalu dipenuhi oleh Muslim dari berbagai negara, maka hal itu tidak akan terjadi.
Pahala sholat di Masjid Al-Aqsho besar sekali. Merupakan hak setiap Muslim untuk setidaknya mengunjungi, tanpa perduli aturan pemerintahnya bilamana peraturan itu jelas bertentangan dengan agama Islam, dan semestinya peraturan itu yang harus ditinjau ulang.
Aku selidiki dari petugas Israel tentang kunjungan Jerusalem dengan paspor Pakistan, mereka katakan bahwa aku bisa saja mendapatkan visa, dan bilamana diterima maka aku boleh berkunjung. Tapi paspor kami menyatakan bahwa paspor tidak sah digunakan untuk perjalanan ke Israel, maka mereka mengeluarkan kertas visa dan mencap stempel semua ijin masuk-keluar di kertas itu.
Bila aku adalah kamu, aku pasti akan memilih opsi ini karena (Jerusalem / Al-Quds) ini adalah tempat suci bagi semua Muslim. Dan Muslim Pakistan tidak perlu kehilangan kesempatan, hanya dikarenakan pemerintahnya menganggap salah bila kita mengunjungi Israel.
I entered Jerusalem as a Pakistani Muslim (terjemahan bebas dari artikel sumber). Oleh Kashan Arshad, Publikasi 31 Desember 2013. Sumber : http://blogs.tribune.com.pk/story/19633/entering-jerusalem-as-a-pakistani-muslim/