Artikel

Delapan Cara Pandang Kita Terhadap Palestina (6 dari 8)

Keenam , Israel berdiri di atas ideologi yang rasis, politis, dan teroris.

Itulah kenapa rencana deklarasi mereka di Jerman diboikot dan diprotes oleh para rabi, sampai kemudian harus mencari tempat yang lain, yakni Swiss. Hal itu pula yang melatari adanya kebijakan PBB bahwa gerakan Zionis-Israel adalah terlarang, sebelum kemudian lobi-lobi mereka berhasil menghapuskannya.

 

Rasisme dan Kontroversi Negara Israel

POLEMIK mengenai isu hubungan rasisme dan zionisme mengemuka cukup kuat dan memperoleh perhatian besar media massa, bersamaan dengan digelarnya konferensi dunia anti rasisme yang disponsori PBB di Durban, Afrika Selatan mulai hari Jumat (31/8), hingga hari Jumat (7/9) depan.

Negara-negara Arab yang berjumlah 22 negara menganggap forum konferensi PBB tentang isu antirasisme itu, merupakan kesempatan untuk mengembalikan lagi resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 3379, 10 November 1975, yang menegaskan bahwa zionisme adalah bagian dari bentuk rasisme.

Resolusi PBB tersebut telah dihapus oleh MU PBB dengan berdasarkan suatu rekomendasi Nomor 86/46 pada 16 Desember 1991, atas permintaan Pemerintah Israel dan Amerika Serikat saat itu. Alasan menghapus resolusi MU PBB Nomor 3379 tersebut, sebagai harga politik kesedian Israel ikut serta dalam forum konferensi damai di Madrid pada 30 Oktober 1991 dengan sponsor Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Negara-negara Arab pun saat itu tidak menantang penghapusan resolusi MU PBB Nomor 3379, dengan harapan Israel bisa mengubah etika dan perilaku politiknya bersamaan dengan bergulirnya proses perdamaian. Rasa optimis semakin kuat dengan tercapainya kesepakatan Oslo pada tahun 1993, yang memberi secercah harapan bagi kembalinya Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki Israel pada perang tahun 1967 ke pangkuan bangsa Arab.

Akan tetapi, wajah Israel yang sebenarnya baru disadari belum banyak berubah ketika digelar KTT Camp David II pada bulan Juli tahun lalu. Pada forum KTT tersebut, Israel tidak hanya menolak prinsip hak kembalinya pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka sesuai dengan resolusi PBB Nomor 194, namun juga tidak bersedia mengakui bertanggung jawab secara moral atas pengungsi Palestina yang kini diperkirakan berjumlah sekitar empat juta jiwa. Selain itu, Israel menolak pula membongkar sebagian besar permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Padahal kekuasaan di Israel saat itu dipegang Partai Buruh yang bersama PLO, menandatangani kesepakatan Oslo. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya proses perdamaian di bawah pemerintah yang nota bene didominasi Partai Likud dan partai kanan lainnya di bawah pimpinan PM Ariel Sharon sekarang ini.

Puncak kekecewaan Palestina itu direfleksikan dalam aksi intifada Al Aqsa dalam 11 bulan terakhir ini yang telah merenggut nyawa lebih dari 700 jiwa, yang sebagian besar warga sipil Palestina.

Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0109/03/ln/rasi41.htm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *