Opini

Retorika Kosong Pemimpin Dunia Untuk Palestina

Oleh Angga Aminudin, M.I.Kom (Kabid Humas AWG)

LEBIH dari sepekan, setelah para pemimpin Arab dan muslim berkumpul di Riyadh, Arab Saudi, dalam rangka KTT Liga Arab-OKI terkait konflik Zionis Israel-Palestina, belum memberikan berpengaruh berarti pada rakyat Palestina. Yang hingga saat ini sudah memasuki hari ke 410 pembantaian massal atau perang genosida yang dilancarkan oleh entitas Yahudi kriminal perampas kekuasaan terhadap rakyat Gaza, perang yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Perang Dunia II. Bahkan perang makin meluas ke penghancuran berikutnya di Lebanon.

Sikap para pemimpin muslim yang bergantung dan berharap pada PBB dan negara-negara adidaya tentu sangat disayangkan. Terlebih pada faktanya, tragedi Palestina sudah berlangsung sejak sangat lama. Bahkan sekali lagi, PBB yang disetir Amerika Serikat yang justru bertanggung jawab atas lahirnya kanker berbentuk negara Yahudi di jantung tanah Palestina.

Betapa tidak? Pada 1947, Resolusi PBB 181 disahkan oleh Majelis Umum PBB atas arahan Amerika Serikat dan sekutunya. Isinya menyerukan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi, dengan kota Yerusalem sebagai corpus separatum (‘entitas terpisah’) yang akan diatur oleh rezim internasional khusus. Resolusi itulah yang dianggap oleh komunitas Yahudi di Palestina menjadi dasar hukum berdirinya apa yang mereka sebut “negara Israel” yang diperkuat dengan Resolusi 273 tahun 1949 yang menetapkan keanggotaannya di PBB.

Tentu saja Amerika Serikat punya target politis dan ideologis. Sebagai pemimpin peradaban kapitalisme, Amerika ingin agar dunia Islam, khususnya Timur Tengah yang kaya akan minyak tetap bergolak hingga posisi politiknya di dunia internasional tetap lemah. Amerika bisa mengambil untung dari konflik yang terus-menerus terjadi di sana, mulai jual beli loyalitas dan dukungan politik dengan rezim Arab yang rakus akan kekuasaan, bisnis senjata, hingga tentu saja minyak! Namun ada yang lebih penting dari itu semua, yakni membungkam potensi kebangkitan kembali peradaban Islam yang akan merebut kepemimpinan politik Amerika pada kancah politik internasional.

Dalam kerangka itulah PBB dan lembaga internasional lainnya terus dimainkan. Lembaga-lembaga ini menjadi alat Amerika Serikat dengan hak vetonya untuk memperpanjang umur hegemoninya atas dunia. Semua resolusi menyangkut Palestina hanya dibuat untuk membungkam suara pembelaan dan dorongan membebaskan Palestina. Terbukti, ratusan resolusi Dewan Keamanan yang berisi kutukan, kecaman dan tuntutan atas tingkah rusuh dan kekejaman Zionis Yahudi tidak berpengaruh sama sekali. Bahkan sebagiannya diveto Amerika.

Tak terkecuali resolusi PBB terakhir soal genosida Zionis di Palestina. Dengan enteng Amerika Serikat menolaknya. Bahkan laporan Komisi Khusus PBB yang membuktikan terjadinya genosida dan pelanggaran HAM di Gaza, ditolak mentah-mentah oleh Amerika. Dengan membabi buta, Amerika terus membela anak kesayangannya, dan PBB sebagai lembaga dunia, berisi para pemimpin dunia, nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa.

Begitu pun dengan keberadaan pasukan penjaga perdamaian PBB. Meski dalam situs betterworldcampaign disebutkan bahwa selama 76 tahun, Pasukan Penjaga Perdamaian PBB telah menjadi salah satu alat terpenting untuk meredakan konflik dan mendorong keamanan di seluruh dunia. Juga dibentuk untuk membantu negara-negara yang sulit dari konflik menuju perdamaian, pemeliharaan perdamaian. Serta memfasilitasi proses politik, melindungi warga sipil, membantu pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi mantan kombatan. Namun faktanya, organ di bawah otoritas Dewan Keamanan PBB ini juga hanya menjadi alat untuk menciptakan perdamaian semu dalam kerangka kepentingan Amerika sebagai polisi dunia. Karena jika menyangkut Palestina, pasukan penjaga perdamaian itu PBB itu ‘Nothing’.

Maka dengan melihat kondisi yang demikian, bagaimana bisa kita berharap perdamaian dunia akan tercipta, bagaimana pula di tengah berkelindannya kepentingan nasional berbagai negara, termasuk Arab dan Amerika Serikat atas konflik Palestina, kita berharap bisa menjadi pahlawan bagi kaum tertindas di sana? Yang justru terjadi adalah, kita terposisi sebagai kacung negara penjajah dan dimanfaatkan untuk mendukung penjajahan atas dunia di bawah mitos narasi perdamaian dunia ala Amerika Serikat.

Tentu saja, serangan Zionis Yahudi dan kondisi factual Palestina ini luput dari perbincangan para pemimpin dunia di tengah KTT G20 di Brazil kemarin. Terlebih pembicaraan diplomatis soal Palestina bukan merupakan agenda pertama dan utama. Bahkan seperti sebelum-sebelumnya, narasi menjaga perdamaian dunia di Palestina yang sering digembar-gemborkan itu dipastikan hanya akan berakhir sia-sia. Semuanya, tidak lebih dari basa-basi politik yang tidak berefek pada kehidupan nyata.

Wajar jika hingga detik ini kasus Palestina tidak pernah selesai-selesai. Bahkan serangan demi serangan terus dilancarkan di tengah segala bentuk retorika kosong para pemimpin dunia, hingga akibatnya daftar korban tidak berdosa terus bertambah dari masa ke masa.***

Wallahu a’lam bish-shawab