Tanggal 15 Mei dikenal dengan Yaum an-Nakbah (Hari Nakbah), krisis terbesar warga Palestina, yang diciptakan oleh penjajahan Israel tarhadap warga Palestina. Eskalasi kekerasan dan penangkapan warga Palestina, yang masih terus berlangsung, di tengah pengembangan permukiman Israel di Tepi Barat dan ibukota Palestina, Al-Quds, pun masih berlanjut.
Israel telah mengambil alih pemukiman di sekitar kota Al-Quds, membangun perumahan untuk sekitar 600.000 pemukim ilegal Israel, untuk menggantikan sekitar 750.000 warga Palestina pemilik sah tanah itu, ketika diusir 15 Mei 1948. Tepat sehari setelah Israel mengumumkan negaranya di atas tanah jajahannya itu, 14 Mei 1948.
Pendirian sepihak Negara Israel bermula dari gagasan Theodore Herzl dalam bukunya “Der Judenstaat” (Negara Yahudi), yang kemudian disampaikan pada Kongres Zionisme pertama di Bassel, Swiss, tahun 1897. Peristiwa itu menjadi awal dari sejarah pahit kemanusiaan, sejak direbutnya Palestina pada tahun 1947 oleh Israel lewat tangan Inggris dan PBB (melalui resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181) yang meyerahkan 57% tanah wakaf kaum Muslimin tersebut kepada Yahudi dan hanya menyisakan 43% tanah untuk bangsa Arab yang telah mendiaminya ribuan tahun. Hingga kemudian pada 14 Mei 1948, dengan sepihak Israel pun mengumumkan berdirinya Negara Israel (Medinat Yizrael) di tanah jajahan tersebut.
Sehari setelah pernyataan negara Israel itulah, penjajah zionis yahudi itu mulai melakukan sejumlah pembantaian di beberapa kota di Palestina. Hingga mengakibatkan ratusan tibu warga pun mengungsi ke wilayah-wilayah yang berbatasan dengan wilayah kampung halaman mereka.
Konflik berdarah di negeri-negeri kawasan Teluk pun membuat pengungsi Palestina di pengungsian negara-negara seperti di Suriah, Irak dan Yaman kembali mengungsi mencari daerah yang dipandang lebih aman. Sebagian meninggal di perjalanan, sebagian lainnya merambah daratan Eropa.
Kini, jumlah warga Palestina yang mengungsi dari rumah tinggalnya, semakin bertambah tahun justru semakin bertambah banyak. Menunjukkan pembersihan etnis (etnis cleansing), yang merupakan pelanggaran hak asasi yang terang-terangan di mata dunia. Kondisi 531 kota dan desa Palestina pun telah dihancurkan dan diganti dengan permukiman illegal Yahudi Israel.
Menurut Pusat Data Statistik Palestina, jumlah pengungsi Palestina yang tercatat pada Badan PBB untuk bantuan pengungsi Palestina UNRWA (United Nations Relief and Works Agency), sampai Januari 2014 saja berjumlah sekitar 5,4 juta pengungsi, atau sekitar 41,2 persen dari penduduk Palestina sekitar 12,1 juta orang. Jumlah ini pun masih merupakan perkiraan terendah jumlah pengungsi Palestina.
Jutaan pengungsi Palestina itu tersebar di Tepi Barat (16,8% sekitar 788.108 jiwa), Jalur Gaza (24,1% sekitar 1,1 juta jiwa), Jordania (39,7% sekitar 2 juta jiwa), di Lebanon (8,9% sekitar 427.057 jiwa) dan di Suriah (10,5% sekitar 477.700). Dari jumlah tersebut jumlah pengungsi yang berusia kurang dari 15 tahun mencapai 39,9 % dan usia lansia mulai 60 tahun ke atas, berjumlah 4,2%.
Jumlah ini adalah yang terbanyak dari jumlah pengungsi yang ada di dunia, juga pengungsi ini yang paling lama mengungsi dan terusir dari kampung halamannya.
Di sejumlah negara, pengungsi Palestina mendapat perlakuan yang berbeda-beda. Ada yang disetarakan dengan warga negara di mana tempat mereka mengungsi, dan tidak sedikit dari mereka yang menderita, tidak bisa mendapatkan hak untuk bekerja meskipun pengungsi tersebut memiliki kapasitas yang mumpuni, kecuali pekerjaan-pekerjaan kasar.
Hak untuk Kembali
Israel tidak hanya mengusir, setelah terusir, maka serangkaian undang-undang pun disahkan untuk mencegah mereka kembali ke rumah mereka. Banyak warga Palestina yang direbut kunci rumahnya, padahal kunci itulah yang menjadi simbol dari hak Palestina untuk kembali ke rumah.
PBB sebenarnya telah mengeluarkan Resolusi Nomor 194 tentang hak semua pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka (Haqqul ‘Audah). Hampir empat juta yang telah terdaftar di PBB. Namun resolusi tinggal resolusi. Kepatuhan terhadap resolusi 194 begitu saja diabaikan oleh Israel. Ini permintaan internasional terhadap Israel, tapi Israel menolak dengan alasan masih terganjal “proses perdamaian” dan sebenarnya khawatir jika pengungsi Palestina kembali, maka akan membahayakan mayoritas warga Yahudi di sana.
Hingga hari ini, Israel masih memberlakukan agar hari-hari sepanjang masa adalah hari Nakbah, bencana bagi Palestina. Israel dengan kesombongannya, tanpa perikemanusiaan sama sekali, telah melakukan pembersihan etnis secara terstruktur, sistematis dan berbahaya.
Sementara alasan ‘perdamaian two state solution’ ternyata juga ditentang sayap kanan ekstrem Israel saat ini, dengan banyak alasan bahwa tidak percaya perdamaian dan tidak ingin solusi dua negara. Mereka tetap ingin memaksakan solusi dari kehendak mereka sendiri.
Nyatanya, pasukan Israel terus saja menyita tanah warga Palestina melalui pencaplokan merayap, membangun pemukiman ilegal, menghancurkan lebih banyak rumah Palestina, dan menggunakan intimidasi serta kekerasan brutal terhadap warga Palestina, baik wanita, anak-anak, maupun orang tua. Pembunuhan, serangan malam, dan penangkapan sewenang-wenang pun masih saja berlanjut.
Untuk membuat tekanan lebih besar lagi, dan untuk mematahkan perlawanan Palestina, pembersihan etnis secara modern pun dilakukan melalui blokade Jalur gaza selama 10 tahun berlangsung.
Sementara wilayah di Tepi Barat (West Bank) pun diiris-iris melalui pembangunan permukiman illegal, pembuatan jalan by pass khusus untuk Israel, pembuatan zona keamanan dan dinding apartheid.
Israel benar-benar mengendalikan ekonomi, air, listrik, dan seluruh gerakan penduduk Palestina. Israel ingin melemahkan Palestina secara ekonomi, fisik, budaya dan emosional.
Mereka memegang teguh pesan Ben Gurion, Perdana Menteri Israel pertama, yang menyebutkan bahwa orang-orang Palestina sejak awal pengusiran, “yang lama akan mati dan yang muda akan lupa”. Banyak sudah pengungsi yang mengalami kenyataan pahit 1948 telah meninggal. Generasi muda Palestina berikutnya, Israel ingin agar lupa akan peringatan itu, Nakbah.
Selalu Ada Harapan
Kini setelah 68 tahun, Nakba itu memang masih berlanjut, peringatan kepada dunia agar membuka mata, juga masih terus berlangsung. Sekaligus ini menunjukkan bahwa bentuk perlawanan itu masih ada, nyawa generasi baru yang terbentang benang hijau dengan tanah leluhurnya itu masih kuat.
Palestine News Network (PNN) menyebutkan, semua taruhan pada Palestina untuk melupakan penderitaan mereka karena pengusiran bagi generasi baru ternyata tetap terjaga. Mereka generasi keempat atau kelima sejak 1948, yang tak mengalami langsung tragedi 1948 itu, ternyata tetap konsistem untuk mengambil hak mereka untuk kembali dan memiliki negara merdeka mereka sendiri dengan Al-Quds sebagai ibukotanya.
“Generasi baru Palestina, di dalam dan di luar Palestina, ketika ditanya dari mana mereka berasal, mereka pasti tetap akan menjawab dengan kota atau desa nenek moyang mereka lahir, bukan tempat mereka tinggal sekarang,” jawaban yang diperoleh PNN.
Mereka warga Palestina percaya bahwa mereka akan kembali ke tanah airnya, tanah dan wakaf kaum Muslmin, tidak peduli entah berapa tahun lagi akan mengambilnya.
Kekuatan keyakinannya melebihi keyakinan Yahudi Israel tatkala hendak merebut Palestina sejak 1897 hingga 1948 saat itu. Kota dan desa boleh saja dihancurkan, kunci-kunci boleh pula dihilangkan, dan tanah pekarangan dan ladang bisa saja dibakar.
Namun, semangat perjuangan itu tidak dapat hancur, keinginan untuk kembali mengambil hak milik sendiri warisan tanah Muslimin tidak akan hilang, dan api semangat jihad untuk kemerdekaan bangsa Palestina serta pembebasan Al-Aqsha dari penjajahan Zionis Israel akan selalu membakar.
Ya, membakar segala bentuk penindasan, kezaliman, kejahatan dan penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Bahan bakar itu kini terus mengalir dari dunia Islam pada khususnya dan internasional pada umumnya atas nama kemanusiaan.
(Sumber: mirajnews.com).